Rabu, 27 Agustus 2008

KAWAKIBUL LAMMA'AH (Ke-5)

-->
(Bagian ke lima / Tamat)

MASALAH  IV

Jika ditanyakan :
"Apa yang anda katakan tentang mereka yang menyingkirkan Madzhab Empat di masa kini kemudian mereka duga bahwasanya mereka pun para mujtahid mutlak dalam masalah agama dan juga menduga sesungguhnya mereka berpegang teguh tiada lain hanyalah pada Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi ?"
Saya jawab    :
Sesungguhnya mereka itu suatu kaum yang penuh kebingungan tentang urusan agamanya. (Anda lihat) begitu kacau-balaunya pendapat-pendapatnya. Jalannya terombang-ambing tak menetap pada satu pijakan…

تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى

" Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hatinya berbeda-beda"

Mereka mengaku-ngaku ijtihad sementara mereka bukan dari jajaran ahli ijtihad. Mereka mengingkari taqlid sementara mereka terbelenggu dengan belenggu taqlid. Mereka tidak mau bertaqlid kepada Imam-imam mujtahid terdahulu tetapi mereka bertaqlid kepada pemuka-pemukanya yang tersesat. Mereka mengharamkan taqlid sedang mereka sendiri para pentaqlid. Mereka mewajibkan ijtihad sedangkan mereka sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad. Adalah sebuah kaum yang dipermainkan hawa-nafsunya sendiri, tercerai-berei  oleh 'aqidah-'aqidahnya, dan dikuasai oleh keinginan-keinginannya sendiri dan diliputi oleh kegelapan syubhah-syubhah (pernyataan-pernyataan yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya). Sampai-sampai mereka berkeyakinan bahwa terikat kepada salah-satu Madzhab Empat itu merupakan penghalang antara mereka dan keinginan hasratnya dan sebagai tirai penghalang untuk mencapai hawa nafsunya sendiri. Nah tatkala mereka mempunyai pemikiran seperti itu maka ditinggalkanlah Madzhab-madzhab itu secara total sebagai sikapnya untuk meraih cita-citanya yang rendah itu. Lalu mereka berpegang kepada sesuatu yang tak ada kemampuan dan kekuatan untuk melakukannya, yaitu ijtihad tadi. Mereka di ujung yang satu sementara dunia ijtihad di ujung yang satunya lagi. Memang betul ! Mereka itu para mujtahid dalam hal ikatan tali taqlif , supaya dapat mecapai apa yang mereka inginkan. Bukankah mereka suka mengatakan, "Kami ini adalah orang-orang yang merdeka akal dan pikirannya. Kami akan dapat mencapai puncak kesempurnaan ilmu dan kekuatan berpikir." Betul !
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merdeka akalnya, tapi dalam hal mengikuti syahwat dan memenuhi kebutuhan, yang memang yang dapat mengantarkannya pada penghalalan sebagian perbuatan haram, meninggalkan sebagian kewajiban dan pengharaman sebagaian perbuatan sunat. Dengan demikian mereka terlepas bebas dalam kubangan syahwat seperti halnya binatang-binatang, yang terlepas bebas dalam semak-semak belukar. Kalau mereka itu tidak cukup laik dinamai Ibahiyyin (faham menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan) maka yang paling pantas mereka itu kalau dinamai Hasyawiyyin.

Berkata Imam Taqiyyudin Subki (685-756 H) :
"Adapun Kaum Hasyawiyyah itu adalah golongan sempalan yang membangsakan dirinya kepada Imam Ahmad (164-241 H) Rodliallahu 'anhu . Padahal Imam Ahmad sendiri terbebaskan dari mereka.  Yang menjadi sebab penisbatan mereka pada beliau adalah bahwa Beliau Rodliallahu 'anhu senantiasa tegak (membela faham ahlussunnah wal jama'ah) di dalam menolak faham mu'tajilah dan tetap tegar dalam kesengsaraan dan kepedihan (yang dialaminya). Dari Beliau dikutip beberapa pernyataan yang oleh orang-orang bodoh itu (Kaum Hasyawiyyah) tidak dapat dipahaminya. Lalu mereka meyakinkan I'tiqod yang buruk ini kemudian jadilah yang terakhir dari mereka itu megikuti pendahulunya, kecuali orang-orang yang terpelihara oleh Allah SWT. Mereka tak henti-hentinya sejak kemunculannya itu sebagai kaum rendahan yang tidak memiliki seorang pemimpin, dan tidak pula orang yang pandai ber-munadhoroh (berargumen untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya). Di setiap waktu hanyalah koaran-koaran suara tak berarti yang dimilikinya. Mereka hanyalah menggantung hidupnya pada sebagian penguasa-penguasa pinggiran. Tetapi Allah senantiasa mengekang keburukannya itu. Dan tidak semata-mata mereka ketergantungan pada seseorang kecuali mendatangkan kejelekan baginya. Mereka berbuat kerusakan terhadap tatanan itiqodnya jema'ah-jema'ah arus kecil dari Golongan Syafi’iyyah dan yang lainnya, terutama sebagian muhadditsin (mungkin maksud beliau para pelajar hadits) yang kurang kecerdasannya atau yang  dikuasai oleh orang telah menyesatkannya. Lalu jema'ah-jema'ah ini ikut-ikutan meyakinkan bahwa Mereka itu berqaol-ria berdasarkan hadits.

Dan sesungguhnya konon seorang tokoh muhadditsin yang paling utama di zamannya  di Damaskus, yaitu Imam Ibnu Asakir (499-576 H), tidak mau mengajarinya mereka hadits dan tidak membolehkan mereka hadir di majlis-tahditsnya. Hal itu terjadi pada masa kesultanan Nuruddin Syahid (Sulthan Mahmud bin Zakka, wafat pada bulan Syawal tahun 569 H.  Beliau merupakan pendahulu dari sulthan Shalah ad-Din Yusuf al-Ayyubi (w. Shofar 589 H). Dan nyatalah mereka itu merupakan orang-orang rendahan serendah-rendahnya. Kemudian di penghujung abad ke-7 muncul …..
رجل له فضل ذكاء (يعنى ابن تيمية) ولم يجد شيخا يهديه

seseorang yang memiliki keunggulan berpikir (yakni Ibnu Taemiyyah, 661-728 H) tapi tidak mendapatkan guru yang mengarahkannya. Dia penganut madzhab Kaum Hasyawiyyah, sekaligus sebagai orang pemberani nan intens untuk meyudisfikasi madzhabnya. Dan dia mendapatkan  temuan-temuan yang keluar jauh sekali (dari rel kebenaran). Lalu dengan beraninya dia mewajibkan sendiri menggunakan temuan-temuannya itu. Lalu demikian dia mulai menyampaikan pendapat (yang aneh-aneh), diantaranya :

1.      Tegaknya sifat-sifat makhluk pada Dzat Tuhan Subhanahu wa ta'ala
2.      Bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala  tidak henti-hentinya yang mengerjakan (fa'il)
3.      Tasalsul (keadaan berantai pada makhluk sehingga tidak ada berujung dan berkesudahan) bukan suatu hal yang mustahil pada kejadian yang lampau, seperti halnya pada kejadian yang akan datang juga.
Dengan demikian Dia telah memutuskan tongkat (perjuangan agama; Jama'ah Islam),  telah merecoki sendi-sendi aqidah kaum muslimin, dan menanam bibit (permusuhan) di antara mereka. Sikapnya itu tidak hanya terbatas pada urusan aqidah dalam ilmu kalam tapi juga melebar jauh dari itu (sampai pada urusan furu', diantaranya seperti ) Dia mengatakan :

1.   bahwasarnya perjalanan jiarah ke Nabi Besar sollallohu 'alaihi wasallam merupakan pekerjaan maksiat.
2.     Bahwasanya melakukan talaq tiga itu tidak jatuh talaq.
3.    Bahwasanya orang yang bersumpah akan mentalaq istrinya dan kemudian terkena (tebusan) sumpahnya maka tidak jatuh talaq.
Para ulama sefakat untuk memenjarakannya dengan masa penjara yang lama. Untuk itu, Sang Sulthan, Raja Muhammad ibnu Qowalun (w. 741 H)  memenjarakannya dan melarangnya untuk membuat karya tulis selama dipenjara dan juga membawa tinta masuk penjara (peristiwa itu terjadi tahun 722 H). Kemudian tak lama setelah itu muncul orang yang menyebar-luaskan faham-fahamnya serta mengajarkan masalah-masalah furu' (pendapatnya) dengan menanamkan ke orang-orang secara diam-diam dan menyembunyikannya secara terang-terangan, maka dengan demikian menjadi merebak luaslah hal-hal yang membahayakan (agama). Sampai didapati oleh saya di zaman ini sebuah rangkaian qoshidah yang bait-baitnya mencapai sekitar 6000 bait. Padanya diceritakan faham-faham ibnu Taemiyyah dan faham-faham orang lainnya. Qoshidah tersebut adalah qoshidahnya Ibnu Zafil, seorang laki-laki dari kalangan Madzhab Hanbali. Dia membantah, di dalamnya, faham Imam 'Asy'ari dan yang lainnya dari jajaran Imam-imam sunnah dan menjadikannya Kaum Zahmiyyah suatu kali dan orang-orang kafir pada kala yang lain. Ibnu Zafil menyangka dengan kebodohannya bahwa faham Ibnu Taemiyyah itu adalah fahamnya Ahli Hadits.
Lalu saya dapatkan Qoshidah ini adalah merupakan karangan tentang ilmu kalam yang para ulama melarang mendalaminya, kalau saja itu merupakan sesuatu yang haq, dan tentang penetapan faham-faham bathil yang dengannya dapat mengugguli orang dan ada lagi unsur tambahan lainnya dari kedua unsur tadi, yaitu dapat menjerumuskan masyarakat awam pada sikap mengkafirkan orang selain dirinya dan selain golongannya. Maka dengan demikian ini adalah tiga materi yang ketiganya itu merupakan himpunan dari isi yang terkandung dalam Qoshidah ini.

Yang pertama dari tiga materi itu adalah haram hukumnya, karena  larangan dari ilmu kalam kalau  bentuknya saja sudah larangan tanzih tentang masalah yang kebutuhan menuntut kita membantah ahli bid'ah di dalamnya maka tentu larangan itu menjadi larangan tahrim tentang masalah yang kebutuhan tidak menuntut kita pada hal tersebut. Maka bagaimana tidak kalaulah tentang masalah yang merupakan hal yang bathil ?!

Yang kedua, para ulama berbeda pendapat di dalam mengkafirkannya dan isi qosihidah itu memang belum sampai pada tingkat ini. Adapan kalau dilakukan dengan sangat berlebihan maka di dalam  status ikhtilaf-nya  ini harus dipertimbangkan lagi.
Adapun Yang ketiga maka kita tahu dengan pasti bahwa ketiga golongan itu – Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan hanafiyyah – serta orang-orang bersetuju dengan mereka itu adalah orang-orang muslim dan bukan orang-orang kafir. Dengan demikian maka pendapat yang menyatakan bahwa semuanya kafir dan menjerumuskan masyarakat kedalam pendapat itu adalah bagaimana tidak menjadi kufur ?! Sementara rosullloh sollallohu 'alaihi wasallam pernah bersabda :

" إِذَا قَالَ الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَـدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا   

" jika berkata seorang muslim kepada saudaranya " wahai kafir !",
maka berarti salah seorangnya berbalik menjadi kafir."

Kenyataannya mengharuskan bahwa sebagian yang dia kafirkan itu adalah muslim. Sementara hadits menetapkan bahwa halnya ada salah seorang yang kembali menjadi kafir. Berarti Yang mengucapkanlah dia yang telah kembali menjadi kafir." Demikianlah sudah apa yang Imam Taqiy Subki katakan dengan panjang lebar, yang konon telah dikutip darinya oleh pensyarah kitab Ihya, Sayyid Murtadlo Zabidi.

Dan Tak henti-hentinya Madzhab Ibnu Taemiyyah dianut dan diakui masyarakat dan mereka menambahkannya perkara lain. Dan tak henti-hentinya pula seiring dengan meliwatnya masa dan bergantinya tahun terus bertambah dan bertambah banyak pengikut dan semakin meluas sehingga muncullah di pertengahan abad ke-12 dari wilayah Najd, Hijaz seorang lelaki yang suka dipanggil Abdul Wahab (1111-1207 H), yang kepadanyalah dinisbatkan Golongan Wahabiyyah. Konon dia penganut madzhab Ibnu Taemiyyah. Dan dia telah menambahkannya beberapa pemikiran bathil, yang kesemuanya ada 10, seperti halnya yang dituturkan oleh Jamil Afandi Sidqi Zahawi dalam risalahnya, Fajar Shodiq, :

1.      Menetapkan wajah, tangan, dan arah bagi Dzat Allah Sang Pencipta Subhanahu wa ta'ala dan menjadikannya jisim; benda yang suka bergerak turun dan naik.
2.    Mendahulukan dalil naql dari pada akal serta tidak adanya rujukan terhadap akal di dalam urusan-urusan keagamaan, yakni keyakinan-aqidah.
3.      Menafikan ijma para ulama dan mengingkarinya.
4.      Menafikan dalil qiyas.
5.    Tidak bolehnya taqlid kepada para mujtahid dari Imam-imam agama serta mengkafirkan orang yang menaqlidinya.
6.   Mengkafirkan mereka yang dia anggap beda haluan dengan mereka dari kalangan kaum muslimin.
7.  Melarang bertawasul kepada Allah SWT baik dengan Kangjeng Rosul sollallohu 'alaihi wasallam ataupun dengan yang lainnya dari para nabi, auliya, dan orang-orang soleh lainnya.
8.     Mengharamkan ziarah quburnya para nabi dan orang-orang soleh.
9.  Mengkafirkan orang yang bersumpah dengan nama selain Allah dan menghitungkannya sebagai orang musyrik.
10.  Mengkafirkan orang yang bernadzar karena selain Allah atau orang yang menyembelih hewan di maqom para nabi.
Dan Muhammad ini mendapat bantuan untuk mengibarkan akidahnya yang menyimpang itu dari Muhammad ibnu Su'ud, pemimpin negri Dzuro'iyyah (negrinya Musaelimah al-Kadzdzab dulu). Selanjutnya pada dialah para raja Su'udiyyah berikutnya dinisbatkan. Kemudian tak henti-hentinya muncul segelintir kelompok orang yang membantu perkembangan Madzhabnya itu dan menyerukan kepada masyarakat untuk mengikuti madzhabnya ini dan selalu saja memberikan penambahan-penambahan pemikiran baru yang mana memang menyalahi Madzhabnya Ahlussunnah wal jama'ah sehingga berhamburanlah kejelekan yang ditimbulkan madzhab ini ke kepulauan Nusantara, Indonesia sampai akhirnya terus tersebar di Negri ini.

Dan tak henti-hentinya para pengikut madzhab ini menentang para Ulama al-Kirom dan selalu berusaha menarik simpati rakyat jelata dengan kata-kata yang mempesona serta menanamkan kecintaan terhadap orang-orang bodoh. Sementara kaum tradisional dan para ulama dikecam dan dilecehkan oleh mereka itu dengan penuh kebencian dan cacimaki. Mereka tak henti-hentinya melakukan hal itu di pedesaan dan kota-kota sehingga terjadi maraknya bahaya dan keruksakan (aqidah dan tatanan keagamaan)…
 " وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَالَهُ مِنْ هَادٍ               
" Dan barangsiapa yang akan disesatkan oleh Allah maka tiada baginya yang  akan memberi petunjuk."

Dan cukuplah kiranya pembahasan ini, Allahlah Sang Pengatur Taufiq dan hidayah. Risalah ini selesai, dengan pertolongan Dzat Yang Maha Penyendiri Keagungannya, pada hari Senin Yang diberkahi tanggal 11 Jumadil Tsaniyyah tahun 1381 dari Hijrah Nabi 'ala shohibiha afdlolus Sholaati wassalaam. Semoga Allah SWT memberi pengampunan kepada penyusun, kepada ibu-bapaknya serta ke seluruh kaum muslimin. Amiin !

                                                                                                            Cianjur, 30 September 2017
                                                                                                            BURHANROSYIDI
                                                                                                            HP.082315525972

JOIN GROUP PRORAM UMROH GRATIS
atau di PLAY STORE

back to MY HOME

Sabtu, 23 Agustus 2008

Bintang Terang-benderang tentang Ahlussunnah Wal Jama'ah (Ke-4)




الكَواكبُ الّمَاعَة


(Bagian ke empat)



MASALAH  I

Jika dikatakan       : "Bolehkah dikatakan pada masa kini bagi orang yang tidak taqlid kepada     sebuah madzhab dari Madzhab Empat, serta dia menduga bahwasanya dia itu seorang  mujtahid, "bahwa dia itu Ahlussunnah wal jama'ah" ?"

Saya jawab            :  "Tidak boleh !!"

Karena dia bukan dari kalangan ahli hadits, bukan dari Shufiyyah, bukan dari 'Asya'iroh, dan bukan pula dari Maturidiyyah. Adapun alasan mengapa dia tidak termasuk katagori Ahli hadits, tiada lain karena alasan-alasan yang nanti akan dijelaskan. Sedangkan alasan mengapa dia tidak termasuk katagori shufiyyah, maka (alasannya) sudah jelas, yaitu karena meraka yang melemparkan Madzhab Empat itu sebagian dari terkerasnya orang  yang mengingkari Golongan Shufiyyah. Lalu alasan apa dia tidak termasuk golongan 'Asyairoh serta tidak pula Muturidiyyah. Alasannya adalah karena sesuatu alasan yang terdahulu, yaitu bahwasanya Imam Abul Hasan 'Asy'ari berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Syafi'i. Sementara Imam Abu Manshur Maturidi berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Abi Hanifah. Dan telah dijelaskan pula bahwa Golongan Madzhab Maliki semuanya 'Asya'iroh. Dan begitu pula para tokoh ulama dari madzhab Hanbali sama-sama 'Asya'iroh. Juga telah dahulu dijelaskan bahwa Para ulama ahli madzhab Empat semuanya 'Asya'iroh dan Maturidiyyah kecuali memang orang yang terpengaruh dengan faham tajsim (keyakinan bahwa Allah adalah jisim; benda, yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) dan faham mu'tajilah. Karenanya, mestilah dari tidak adanya taqlid kepada salah satu madzhab empat berarti tidak terbukti penganut faham 'Asy'ari atau faham Maturidi. Kemudian akhirnya terbukti dari tidak termasuknya dalam salah satu madzhab empat maka pastilah bukan dari Ahlussunnah wal jama'ah karena alasan tadi, yaitu bahwa Nama ini merupakan nama khusus untuk  Golongan Yang Empat itu di dalam 'urf.

MASALAH  II

Jika ada yang berkata, :
                         "Kalian mengakui ahli hadits itu dari bagian Ahlussunnah wal jama'ah. Sementara kami juga adalah ahli hadits karena sesungguhnya kami membuang Madzhab empat untuk kembali pada Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Nah bagaimana bisa kalian tidak mengakui kami termasuk Ahlussunnah wal jama'ah ?"

Jawabannya  : 
 "Sesungguhnya bahwa lafadz hadits atau muhaddits sebagian dari lafadz-lafadz yang diishthilahkan oleh para ulama ahli hadits untuk makna yang khusus. Bentuk isthilahnya adalah bahwa mareka telah membuat lafadz itu sebagai nama bagi orang yang telah memenuhi syarat-syarat yang berlaku munurut mereka. Maka wajib memaknai lafadz itu tatkala diungkapkan terhadap makna yang sudah pada dikenal di kalangan mereka.

Karena itulah Imam Ibnu Subki (771 H) pernah berkata dalam kitabnya, Mu'idun Ni'am wa Mubidun Niqom :
 
المحدث من عرف الأسانيد و العلل وأسماء الرجال والعالى والنازل وحفظ مع ذلك جملة مستكثرة من المتون وسمع الكتب الستة ومسند أحمد وسنن البيهقى ومعجم الطبرنى وضم إلى هذا القدر ألف جزء من الأجزاء الحديثية كان ذلك أقل درجاته فإذا سمع ما ذكرناه ودار على الشيوخ وكتب الطباق وتكلم فى العلل والوفيات والأسانيد عد فى أول درجات المحدثين ثم يزيد الله تعالى من شاء ماشاء اه 

Berkata Imam Al-Hafidh Sakhowi (902 H) dalam al-Jawahir wad Duror, "Yang terbatas hanya pada mendengarkan (hadits) tidak bisa dinamakan muhaddits. Dan diriwayatkan dari Imam Malik bahwa yang terbatas pada mendengarkan saja tidak boleh diambil ilmu darinya."

Dan oleh sebab itu anda akan tahu bahwa orang yang membuang Madzhab Empat dan kemudian beralih pada hadits sedangkan dia belum memenuhi Syarat-syarat yang tersebut di atas maka dia itu belum termasuk dari Ahli Hadits menurut 'urf. Maka belum pula termasuk Ahlussunnah wal jama'ah. Seorang insan tidak akan menjadi ahli dalam sebuah bidang ilmu dengan hanya menggelutinya dan menekuninya sehingga ilmunya sampai meliputi sebagian besar masalah-masalahnya dan jadi menyatu dalam jiwanya.   Ahli nahwu dengan hanya menggeluti dan ketekunannya pada fiqh atau nahwu kecuali jika fiqh atau nahwunya telah menjadi melekat pada jiwanya. Apalagi ini orang yang tak ada pengetahuan tentang hadits kecuali namanya saja atau dia tidak mempuyai ilmu kecuali beberapa hadits yang tersebar di dalam isi kitab-kitab yang memang bukan dari antara kitab-kitab hadits atau berserakan pada lembaran-lembaran berbagai jilid kitab dan koras. Maka tentu saja orang seperi itu samasekali tidak termasuk hitungan dari kalangan ahli hadits.

MASALAH  III

Jika dikatakan             :
"Bagaimana bisa kalian memperhitungkan Kaum shufiyyah dari Ahlussunnah wal jama'ah ? sedangkan telah dikatakan bahwa mereka itu mengambil ilmu dari Kaum Budha India dan para ahli filsafat Yunani. Karenanya, mereka itu kalau tidak termasuk kafir maka (minimal) fasiq, sebagaimana dalam kitab Akhlaq lilghozali karangan DR. Zakky Mubarok Mesir, juga seperti yang dikutip oleh Sayyid Zabidi (1205 H) dari Al-Maziri dalam muqoddimah Syarah Ihya."

Saya jawab      :
"Semoga terhindar dari hal seperti itu dan Janganlah begitu ! Melainkan mereka itu orang-orang muslim pilihan dan sebagai sosok-sosok muslim unggulan. Karena haqiqat dari Shufi itu adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan. "

Berkata Ibnu Subki (771 H) dalam kitab Jam'ul Jawami' : "Dan sesungguhnya ajaran Syekh Junaed dan para sahabatnya merupakan ajaran yang lurus." Dan berkata pula Syekh Jalaluddin Mahalli (769-864 H) dalam Syarah Jam'ul jawami' : "Karena sesungguhnya ajaranya itu  luput dari bid'ah, beredar pada ketundukkan dan kepasrahan (pada Allah SWT) dan terbebas dari hawa nafsu.”
Di antara pernyataan Syekh Junaed adalah : "Semua jalan menuju Allah SWT itu tertutup terhadap semua makhluknya kecuali terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak rosulullah Shollallahu 'alaihi wasallama.”

Berkata Qutbul Aulia Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H) dalam Muqoddimah Tobaqotus Shufiyyah, "Kemudian ketahuilah wahai saudaraku rohimakalloh sesungguhnya ilmu tashowuf itu…

أَنَّ عِلْمَ التَّصَوُّفِ عِبَارَةٌ عَنْ عِلْمِ انْقَدَحَ فِىْ قُلُوْبِ الْأَوْلِيَاءِ حِيْنَ اسْتَنَارَتْ بِالْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (مع الإخلاص)

 …adalah sebutan bagi suatu ilmu yang terwadahi dalam hati para aulia ketika menjadi terang benderang oleh pengamalannya pada Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunnah Rosul. Maka setiap yang bisa mengamalkan keduanya itu akan tampak baginya dari pengamalan itu berbagai ilmu, adab-kesopanan, rahasiah-rahasiah bathin, dan segala haqiqat sesuatu yang tak teruraikan dengan kata-kata, setara dengan apa yang tampak pada para ulama pemangku Syari'at, yaitu hukum-hukum (furu') tatkala mereka mengamalkan apa yang mereka telah ketahui dari hukum-hukum syari'at itu. Maka Ajaran Tashowuf itu adalah merupakan intisari dari pengamalannya seorang hamba pada hukum-hukum syari'at jika amalannya itu telah terbebas dari berbagai macam penyakit bathin dan keinginan hawa nafsu. Seperti halnya ilmu ma'ani dan bayan merupakan intisari dari ilmu nahwu. Lalu orang yang menjadikan ilmu tashowuf sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai intisari hokum-hukum syari'at maka dia juga benar.  Tak berbeda halnya dengan orang yang menjadikan ilmu ma'ani dan bayan sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai bagian dari ilmu nahwu dia juga benar. Namun masalahnya adalah tidak akan terhirup dalam hati bahwa ajaran tashowuf itu merupakan intisari dari syari'at kecuali oleh orang yang (melaut) luas dan dalam di dalam ilmu syari'atnya sehingga dia dapat mencapai puncak tertinggi. Sementara telah ijma Kaum Ini bahwa tidak patut untuk tampil dalam ajaran thoriqoh menuju Allah 'azza wa jalla kecuali orang yang telah luas dan dalam ilmu syari'atnya serta telah mengetahui semua makna syariat baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang khusus maupun yang umumnya, baik nasikh maupun mansukhnya dan memiliki kemampuan yang luas dalam bahasa Arab sampai mengetahui bermacam-macam bentuk majaz dan isti'arah dan sebagainya. Karena itu maka setiap ahli tashowuf pastilah seorang faqih tapi tidak sebaliknya."

Dan berkata Yang dipertuan dalam golongan ini yaitu Imam Junaed Rodliallohu 'anhu : "Madzhab kita ini terikat pada dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah" Juga beliau katakan : "Barangsiapa yang belum sempat hapal Al-qur'an dan belum menulis hadits maka dia itu tidak berhak diikuti di dalam urusan ini, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan kami ini terikat pada Kitab dan Sunnah."
Dan Berkata Qutb Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H), "Ternyata Syekh 'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu  (577-660 H) selalu mengatakan setelah ikut bergabung dalam ajaran Syekh Abil Hasan Syadzili dan setelah ikut memberi pengakuan bagi Kaum (Shufi) ini, "di antara dalil terkuat yang menunjukan bahwa Golongan Syufiyyah berada pada asas agama yang terkokoh adalah apa yang suka terjadi pada mereka yaitu Karomahnya dan kejadian-kejadian luar biasanya. Dan tidak akan terjadi apapun dari yang demikian itu bagi seorang faqih kecuali kalau dia itu telah menempuh ajarannya Kaum Shufi, sebagaimana hal itu telah jelas terbukti."

Beliau menambahkan :

" Dan konon Syekh 'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu sebelumnya bersikap menentang terhadap Kaum Shufi ini. Beliau suka mengkritik, "Adakah bagi kita thoriqoh lain selain thoriqohnya Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah Nabi." Kemudian tatkala beliau merasakan suka dukanya dunia shufi dan dapat memutuskan rantai besi hanya dengan sehelai daun maka beliau memuji-muji Kaum Shufiyyah ini setinggi-tingginya."

Itulah merupakan hal inti dalam ajaran tashowuf dan tentang kehidupan orang-orang jujur dari kalangan Shufiyyah. Adapun orang yang mengaku-ngaku bahwa dirinya menempuh ajaran Shufi  sedangkan dia itu bukan dari golongan shufiyyah maka tidak perlu lagi ada perbincangan tentangnya, karena sesungguhnya mereka itu mengaku bertashowuf  namun tidak memenuhi syarat-syaratnya. Sementara yang namanya syarat itu adalah timbulnya ketidak-beradaan sesuatu dari ketidak-adaannya. Oleh sebab itu, maka barangsiapa yang menghakimi seluruh Kaum shufiyyah dengan kreteria hokum mereka yang mengaku Shufi namun nyatanya hanyalah para pembohong maka dia sungguh telah berbuat kesalahan besar, karena dia telah menghakimi suatu perkara dengan kreteria hokum untuk perkara lain. Orang itu tak bedanya seperti orang melihat potret kuda lalu dia katakan "Inilah kuda dan setiap kuda suka meringkik jadi ini suka meringkik" sembari menunjuki potret tersebut. Seperti itulah (yang dalam fan mantiq) dinamakan  kalimat safsathoh, yang sering digunakan oleh para penentang untuk mengecoh dan menarik hati orang-orang awam yang berpikiran dangkal dan sempit. Para penentang itu adalah orang yang selalu bersikap berlebihan, melampaui batas. Bahkan orang yang menghukumi bahwa para pengaku shufi itulah yang termasuk Golongan Shufiyyah dengan pengertian umum itu telah berbuat kesalahan juga, karena telah menghakimi hal global dengan hukum parsial. Seperti halnya seorang hakim yang melihat buaya yang sedang menggerakan rahang atasnya lalu dia katakan, "Ini adalah seekor hewan, berarti setiap hewan dapat menggerakan rahangnya yang atas." Tak keliru lagi bagi orang yang berakal , sebagai pusaka terendah sekalipun, akan payahnya pernyataan tersebut. Berarti orang yang melihat seorang manusia gila lalu dia katakan, "sesungguhnya dia ini gila, tetapi dia seorang manusia, berarti setiap manusia itu bisa gila." Kalau demikian tak disangsikan lagi bahwa orang itulah yang gila.

Inilah kiranya kadar yang cukup sebagai jawaban bagi orang yang dilindungi taufiqnya. Akan tetapi lain halnya dengan orang yang terbiarkan (sesat) yang tidak mendapatkan manfa'at apapun dari proses kebenaran ini. Dia malah berkata bahwa proses ini hanyalah untuk memperindah dan penghias semata.

(Bersambung ke bagian lima)