Jumat, 20 Oktober 2017

Syariatisasi kata GUS DUR


Syariatisasi dan Bank Syariah

Oleh: Abdurrahman Wahid



Judul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat proses “penyantrian” kaum muslimin di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan pengamatan sebelumnya, bahwa ratusan juta Muslimin dapat dianggap sebagai orang-orang “Islam statistik” belaka alias kaum muslimin yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Orang-orang seperti itu, dikalangan “kaum santri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orang-orang abangan” (nominal muslim) di Indonesia. Mereka berjumlah sangat besar, jauh lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas ajaran-ajaran agama mereka berjumlah sekitar 30 % dari penduduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak melaksanakan “kewajiban-kewajiban” agama dengan tuntas.



Karena “ menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap Islam baru tersebar dalam lingkup Tauhid di negeri kita, maka para wakil berbagai organisasi Islam, menerima pencabutan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus Hadikusumo, Khahar Mudzakar, AR. Baswedan, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subardjo, Agus Salim, A. Wahid Hasyim menerima pencabutan itu dengan mewakili organisasi masing-masing. Tentu mereka bersikap seperti itu, karena secara de facto telah berkonsultasi dengan kawan-kawan lain dari organisasi masing-masing, atau paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di kalangan gerakan Islam di Indonesia. Hanya dengan keyakinan seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di kemukakan di atas.



Pengetahuan sejarah tersebut sangat diperlukan, untuk megetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk mengetahu motif dari keputusan yang diambil tersebut.



Pada saat ini, organisasi-organisasi Islam menguasai wacana politik dan budaya di negeri kita. Sebagaimana terlihat dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan pandangan dan pemikiran mengenai kedua bidang tersebut dalam media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topik-topik yang sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut aspek-aspek agama Islam, namun hampir duapertiga paparan pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan mereka yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari telah turut bersama-sama menyatakan pendapat dan pandangan kaum santri di media khalayak. Ternyata fakta ini tidak terbantahkan, sehingga banyak pegamat asing tentang Indonesia, berpandangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui pandangan kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut Indonesia.



*****



Salah sebuah perkembangan yang menarik untuk diamati adalah pelaksanaan Syari’ah (jalan hidup kaum muslimin), umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan dengan tekun, paling tidak slogan “Syari’atisasi” telah dilakukan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai “pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara formal atau resmi. Karena itu, ketika penulis masih menjadi Presiden, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya bertentangan dengan undang-undang dasar dianggap batal.



Karena itulah, monitoring perkembangan upaya “Syari’atisasi” harus dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan dengan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa sampai sekarang belum ada pelaksanaan Syari’ah di beberapa daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawabnya, karena Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan kata akhir bagi pembahasan hal-hal mendasar bagi kehidupan kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahkamah Agung yang benar-benar menjalankan kewajiban, tentulah tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum teroris”. Karena ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam memudahkan berbagai masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita sekarang takut kepada tekanan yang ingin memberlakukan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945, bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri (We have to fear is fear itself).



Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Sumatera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarga dekat, jelaslah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan kedudukan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara lelaki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang penakut itu. Kalau ada upaya membuat membuat Syariatisasi yang sejalan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah penggunaan nama Syari’ah itu sendiri. Tentu itu dilakukan dengan tujuan “mengiIlamkan” perundang-undangan di negeri ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir, Al-Asmawi pernah mengemukakan dalam sebuah buku, bahwa tiap undang-undang yang berisikan pencegahan dan hukuman (Defence and Punishmemt) pada hakikatnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum Islam?



Jelaslah dengan demikian, upaya melakukan Syari’atisasi dengan menggunakan kerangka Al-Asmawi itu, adalah apa yang oleh Fiqh (hukum Islam) dan cabang-cabangnya dinamai “melakukan hal yang tidak perlu, karena sudah dilakukan” (Tahsil Al-Hasil). Yang tercapai hanyalah penamaan saja, sedangkan substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga dilakukan secara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya, proses Syari’atisasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa penggunaan nama Syari’ah. Hal tersebut dapat terjadi sebagai proses dalam hidup bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan, penyebutan Syari’ah dalam produk-produk DPRD propinsi, kabupaten dan kota hanya bersifat politis saja, sesuatu yang perlu disayangkan, karena terbawa oleh kerancuan kerangka berpikir kita sendiri.



*****



Dalam hal ini perlu kita menyayangkan, bahwa beberapa bank pemerintah telah mendirikan bank Syari’ah, sesuatu hal yang masih dapat diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu menyatakan tidak memungut bunga bank (interesty) tetapi menaikkan ongkos-ongkos (bank cost) di atas kebiasaan? Bukankah dengan demikian, terjadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip cara kerja sebuah dengan bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya dengan transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.



Karenanya, banyak bank-bank swasta dengan para pemilik saham non-Muslim, turut terkena “demam Syari’atisasi” tersebut. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum Islam tersebut. Begitu juga, sangat kurang diketahui bahwa Islam dapat dilihat secara institusional/ kelembagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/ budaya di pihak lain. Kalau kita mementingkan budaya/ kultur, maka lembaga yang mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank Syari’ah. Selama budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga. Karena itu, kita tidak perlu berlomba-lomba mengadakan Syari’atisasi, bahkan itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?



Sumber: Memorandum, Jakarta, 28 Januari 2003


Sumber: http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/syariatisasi-dan-bank-syariah

POSTINGAN SEBELUMNYA ................... POSTINGAN SESUDAHNYA




Sabtu, 21 Oktober 2017

Gagasan Gus Dur


GAGASAN GUS DUR UNTUK EKONOMI

Irwan Wisanggeni*

Tanggal 30 Desember yang lalu genap 2 tahun (2009-2011) bangsa Indonesia kehilangan  KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, tokoh fenomenal dan guru bangsa yang eksentrik. Penulis memiliki kesan yang dalam terhadap gagasan dan pemikiran-pemikiran Gus Dur, terutama soal ekonomi dan  perpajakan.

Penulis terkesan ketika dis­kusi dengan Gus Dur saat bertemu di tahun 1998 pas­­ca kerusuhan Mei di ru­mah­­nya yang asri di Warung Sila Ciganjur, gagasan Gus Dur soal ekonomi kerakyatan dan per­pajakan yang dikemukakan di­depan para aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Mas­ya­rakat (LSM) saat itu. Gus Dur belum menjabat sebagai RI 1, walau dilontarkan pemikiran-pe­mikiranya dengan nada gu­yo­nan khasnya tapi ide-ide Gus Dur begitu tajam memukau se­mua orang yang terlibat dis­kusi saat itu. Beberapa pemikiran Gus Dur yang didiskusikan di Wa­rung Sila, di gelontorkan Gus Dur saat ia memangku ja­ba­tan sebagai RI 1.

Ketika Gus Dur memangku ja­batan sebagai Presiden melalui po­ros tengah pada tahun 1999, beberapa langkah strategis sem­pat diambil oleh Gus Dur da­lam konteks ekonomi dan per­pajakan. Beberapa bulan setelah beliau dilantik, Gus Dur a­kan menggunakan hukum pajak untuk "menundukan" man­tan Presiden Soeharto. Fra­se "menundukan" disini dapat diartikan pengembalian uang negara atau uang rakyat dan upaya penegakan supremasi hukum.

Alasan inipun menjadi terbuka ketika Gus Dur muncul dalam aca­ra talkshow dalam sebuah acara di televisi swasta, yang saat itu dihadiri oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Machfud Sidik, pakar ekonomi almarhum Syah­rir dan Sri Bintang Pa­mung­kas. Untuk menaklukan man­tan Presiden Soeharto, Gus Dur berkaca pada pengalaman Eliot­ness dalam menggulung bandit Al Capone yang awalnya licik bak belut untuk ditangkap, namun pada akhirnya bertekuk lu­tut saat ditekan dengan pe­raturan perpajakan yang me­rupakan produk dari hukum pajak. Hal serupa akan di­te­rap­kan oleh Gus Dur untuk me­narik balik harta kekayaan man­tan Presiden Soeharto. Ba­­gaimana hasilnya? Hasilnya memang tidak berjalan dengan suk­ses, suatu hal yang wajar di­karenakan umur pe­me­rin­ta­han Gus Dur saat itu baru  4 bu­lan, sedangkan kekuasaan Soe­­harto sudah 32 tahun. Na­mun pemikiran cerdas Gus Dur soal ini perlu mendapatkan  pu­­jian.

Perombakan di tubuh Di­rek­to­rat Jenderal Pajak pun di la­ku­kan oleh Gus Dur dengan sa­ngat berani, Gus Dur tidak hanya mengganti Machfud Sidik sebagai Dirjen Pajak melainkan me­lakukan penggeseran secara besar-besaran. Pejabat eselon ter­sebut harus menerima nasib di­geser ke posisi lainya yang ti­dak lagi strategis. Biasanya me­reka ditempatkan sebagai ke­pala Kanwil diluar Jawa. Kip­rah spektakuler Gus Dur ketika menyetujui Menteri Keuangan ka­la itu Prijadi PS untuk men-co­pot empat orang kepala Kan­wil Pajak. Langkah Gus Dur dalam membayar pajak juga di­ lakukan dimana beliau mem­be­­rikan contoh dan men­ye­ruh­­kan kepada sejumlah men­teri kabinet, tokoh politik dan be­berapa artis untuk men­ye­rah­kan SPT (Surat Pem­be­ri­ta­huan Tahunan) Pajak Peng­hasilan selama tahun 2000, me­­reka semua langsung me­res­pon dan menyerahkan SPT Tahunan ke Kantor Pelayan Pajak.

Gus Dur juga membuat per­nya­­taan masa depan Indonesia ber­gantung pada pajak. Tapi sayangnya kesadaran pajak masih sangat rendah  dan ia men­­­­yeruhkan pemerintah harus me­ngupayakan  pemungutan Pa­jak Penghasilan secara in­ten­sif dan bertahap. Gus Dur pun meminta Ditjen Pajak untuk mem­­bereskan kemungkinan adanya para pejabat pe­me­rin­tahan dan legistatif yang belum me­miliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan alhasil  Amien Rais ketua DPR kala itu dan Su­silo Bambang Yudhono yang masih menjabat Menko Politik, Sosial dan Keamanan men­yam­paikan SPT Tahunan ke KPP.

Bagaimana pencapaian pe­ne­­­rimaan pajak di era pe­me­rin­tahan Gus Dur? Tentu me­ngu­kurnya dengan alat ukur tax ratio, dimana penerimaan pa­jak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), tax ratio di zaman pemerintahan Gus Dur sebesar 10.7 % se­dang­kan di dibawah rezim Orde Baru tax ratio hanya mencapai 6,1%. Padahal pada masa pe­me­rin­tahan Gus Dur ekonomi In­­­­donesia sedang terpuruk aki­bat gejolak politik maupun kri­sis ekonomi.

Dualitas Sistem

Vi­si perekonomian ketika Gus Dur memerintah menarik untuk dikaji karena kental dengan sifat ekonomi prorakyat, visi ekonomi Gus Dur ketika itu adalah membangun ekonomi yang berbasis pada kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tertinggal, tidak mampu, dan miskin. Tiga go­longan tersebut harus men­dapat per­lindungan dari pemerintah dan diberdayakan melalui ma­na­­jemen dan modal dari pe­merintah. Visi ekonomi yang benar-benar prorakyat bahkan almarhun Nurcholis Madjid me­muji visi ekonomi Gus Dur. Cak Nur mengatakan, "visi eko­nomi Gus Dur bukan saja se­ba­gai payung tapi sebagai alat penunjuk jalan, padoman kerja secara abstrak yang di­ter­je­mah­kan dalam strategi, kebijakan, prog­­­­ram kerja dan anggaran."

Ke­unikan lain dari Gus Dur sebagai mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentunya tingkat pemahaman agama Gus Dur pasti mendalam tetapi beliau memandang ekonomi syariah dengan pola yang ber­be­da dari kebanyakan ulama me­mandang, ini nampak dalam tulisan beliau yang berjudul "Sya­riatisasi dan Bank Syariah", dalam paparan di tulisan ter­se­but, Gus Dur menyimpulkan bahwa "bank pemerintah telah men­dirikan bank syariah, se­suatu yang masih di­per­de­bat­kan. Bukankah bank syariah men­­yatakan tidak memungut bunga (interest) tetapi menaikan ongkos-ongkos (bank cost) di­atas kebisaan yang layak? Bu­kan­kah dengan prinsip demikian ter­jadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan prin­sip-prinsip cara kerja sebuah bank yang sehat. Lalu, ba­gai­mana halnya dengan tran­s­pa­ra­nsi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mung­kin." Nampak jelas bahwa Gus Dur tidak terlalu antusias ter­hadap sistem  ekonomi sya­riah yang saat itu sedang po­pu­ler.

Kebijakan ekonomi Gus Dur pun tidak disukai negara China di­karenakan Gus Dur membatasi pen­jualan produk China di In­do­nesia, karena China dikenal sebagai negara yang menjual produknya ke Indonesia dengan harga murah, karena jika hal ini tidak dibatasi akan memukul in­dustri manufaktur di tanah air. Penulis juga melihat dampak yang terjadi dengan import pro­duk China yang memukul in­dustri garmen Indonesia se­hingga di tahun 2003 Benny Sut­risno sebagai ketua umum API ( Asosiasi Perstekstilan In­d­o­nesia) berteriak tentang sa­fe­guard textil China hal itu sangat masuk akal karena para pe­main industri garmen sekarat tak mampu bersaing dengan pro­duk China. Gus Dur sadar se­kali industri rumahan  seperti gar­men (konveksi) jumlahnya  ri­buan, sektor informal ini ikut mem­bantu menciptakan la­pa­ngan pekerjaan, kalau satu kon­veksi mempekerjakan 20 orang, berarti kalau sektor ini hancur akan muncul pe­ng­ang­gu­ran baru yang jumlahnya ratusan ribu dan akan me­nim­bul­kan dampak sosial yang lain.

Gus Dur juga pernah me­lon­tar­kan dualitas sistem per­da­gangan pada saat acara Kongkow Bareng Gus Dur di Utan Kayu, Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur  tahun 2008, Gus Dur me­nga­ta­kan: "Jika saya terpilih lagi men­jadi Presiden, saya akan meng­gunakan dualitas sistem per­dagangan. Satu sisi, ada per­saingan bebas antara pe­ru­sahaan-perusahaan dunia, tapi kita tariki pajak. Misi kedua ada­lah pem­bangunan ekonomi yang ber­orentasi kepada rakyat kecil. Jadi bukan pertumbuhan saja, tetapi juga pemerataan."

Penulis berpendapat gagasan-ga­gasan Gus Dur selalu menarik untuk dikaji oleh para pengambil keputusan di tanah air sehingga dapat dijadikan pola dasar untuk membuat kebijakan ekonomi maupun perpajakan.  Seorang Gus Dur adalah manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan, pasti kebijakan yang di buat oleh Gus Dur dapat kurang tepat tapi benang merah dari pe­mi­ki­ran Gus Dur adalah bahwa  ke­­bijakan ekonomi Gus Dur pro­rakyat dan keberanian Gus Dur mengemukan pendapatnya wa­lau terkadang mengundang kon­­traversi. Penulis yakin pi­ki­ran-pikiran Gus Dur tidak akan lekang dimakan waktu dan tetap relevan untuk manfaat bangsa kita.

* Dosen dan Alumnus Magister Akuntansi Perpajakan Trisakti.

Sumber: http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=281/hl=id/Gagasan_Gus_Dur_Untuk_Ekonomi


Postingan Sebelumnya:


Kamis, 19 Oktober 2017

ULAMA ASWAJA


Tokoh-Tokoh Ahlussunnah Wal Jama'ah Dari Masa Ke Masa

20 Oktober 2017 M.



Sesungguhnya keutamaan, kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah menunjukan keagungan orang yang diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah adalah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian tidak disangsikan lagi bahwa kedua Imam ini adalah sebagai penegak tonggak dasar dari berkibarnya bendera Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung.

Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari.

Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.

Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî al-Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.



A. Angkatan Pertama



Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya:

1. Abu al-Hasan al-Bahili,

2. Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H),

3. Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H),

4. Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H),

5. Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H),

6. Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H),

7. Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H),

8. Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H),

9. Abu Bakar al-Audani (w 385 H),

10. Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal,

11. Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H),

12. Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H),

13. Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H),

14. Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H),

15. Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H),

16. Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H),

17. Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad,

18. Ibn Mujahid ath-Tha’i,

19. Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi (w 353 H), dan

20. Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.



B. Angkatan Ke Dua



Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah:

1. Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H),

2. Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H),

3. Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki,

4. Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani,

5. al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H),

6. Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H),

7. Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H),

8. Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain,

9. Abu Sa’ad al-Kharqusyi,

10. Abu Umar al-Basthami,

11. Abu al-Qasim al-Bajali,

12. Abu al-Hasan ibn Masyadzah,

13. Abu Thalib al-Muhtadi,

14. Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili,

15. Abu Hazim al-Abdawi al-A’raj,

16. Abu Ali ibn Syadzan,

17. al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H),

18. Abu Hamid ibn Dilluyah,

19. Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki,

20. Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki,

21. Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki,

22. Abu Bakar al-Abhari,

23. Abu Muhammad ibn Abi Yazid,

24. Abu Muhammad ibn at-Tabban,

25. Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.



C. Angkatan Ke Tiga



Di antaranya:

1. Abu al-Hasan as-Sukari,

2. Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi,

3. Abd al-Wahhab al-Maliki,

4. Abu al-Hasan an-Nu’aimi,

5. Abu Thahir ibn Khurasyah,

6. Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq,

7.Abu Dzarr al-Harawi,

8. Abu Bakar ibn al-Jarmi,

9. Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H),

10. Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi,

11. Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi,

12. Abu Hatim al-Qazwini,

13. Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri,

14. Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban,

15. Sulaim ar-Razi,

16. Abu Abdillah al-Khabbazi,

17. Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki,

18. Abu al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini19.  al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan

19. Abu Iran al-Fasi.



D. Angkatan Ke Empat



Di antaranya:

1. al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H),

2. Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H),

3. Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani,

4. Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H),

5. Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H),

6. Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H),

7. Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H),

8. Nashr al-Maqdisi,

9. Abu Abdillah ath-Thabari,

10. Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki,

11. Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya,

12. ad-Damighani al-Hanafi, dan

13. Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.


Selamat Hari Santri Nasional yang ke-2 tahun 2017 


E. Angkatan Ke Lima



Di antaranya:

1. Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi,

2. Ilkiya,

3. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H),

4. Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H),

5. asy-Syasyi,

6. Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H),

7. Abu Sa’id al-Mihani,

8. Abu Abdillah ad-Dibaji,

9. Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi,

10. Abu Abdillah al-Furawi,

11. Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-dzin,

12. Abu al-Hasan as-Sulami,

13. Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani,

14. Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah,

15. Abu al-Futuh al-Isfirayini,

16. Nashrullah al-Mishshishi,

17. Abu al-Walid al-Baji,

18. Abu Umar Yusuf ibn Abd al-Barr al-Hâfizh,

19. Abu al-Hasan al-Qabisi,

20. al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H),

21. al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi,

22. al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani,

23. al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi,

24. al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H),

25. Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihal,

26. as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah,

27. as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib,

28. al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).



F. Angkatan Ke Enam



Di antaranya:

1. Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H),

2. Saifuddin al-Amidi (w 631 H),

3. Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H),

4. Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H),

5. Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya,

6. al-Khusrusyahi,

7. Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H),

8. Ala’uddin al-Baji,

9. al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H),

10. Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H),

11. Shadruddin ibn al-Murahhil,

12. Shadruddin Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki,

13. Syamsuddin al-Hariri al-Khathib,

14. Jamaluddin az-Zamlakani,

15. Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H),

16. Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H),

17. Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H),

18. Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi,

19. Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi,

20. Adluddin al-Iji asy-Syiraji,

21. al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H),

22. al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H),

23. al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H),

24. al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H),

25. Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H),

26. Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).



G. Angkatan Ke Tujuh



1.al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H),

2. Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H),

3. Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H),

4. Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H),

5. Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H),

6. Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H),

7. Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H),

8. Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).



H. Angkatan ke Delapan



1. Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H),

2. al-Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H),

3. al-Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),

4. Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H),

5. Zakariyya al-Anshari (w 926 H),

6. al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).



I. Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya



1. Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H),

2. Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H),

3. Mulla Ali al-Qari (w 1014 H),

4. Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H),

5. Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H),

6. al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H),

7. Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H),

8. Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H),

9. as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H),

10. Muhammad ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H),

11. Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H),

12. Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H),

13. al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H),

14. ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H),

15. Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H).

Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.

Pimpinan kaum Asy'ariyyah di masa sekarang; al Muhaddits al Hafizh al Imam as Sulthan asy Syaikh Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf al Harari asy Syaibiy al Abdari; yang dikenal dengan al Habasyi (Rahimahullah Ta'la)

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/tokoh-tokoh-ahlussunnah-wal-jamaah-dari-masa-ke-masa/568553366494910/
Cianjur, 20 Oktober 2017 M.

--------------------------------------
Kitab Kaukabul Lamma'ah fii tahqiqiil Musamma bi Ahlissunnah Wal Jama'ah (Terjemahan)

back to MY HOME


Rabu, 04 Oktober 2017

Pidato Guru Besar (Honoris Causa) KH. Ma'ruf Amin



KH. Ma’ruf Amin menyampaikan pidato guru besar (honoris causa). Ekonomi Syariah menjadi alternative solusi atas ketidakadilan di negri ini. Dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up), bukan dari atas ke bawah (top-down)

Muslim di Indonesia, adalah mayoritas.namun, di bidang ekonomi menjadi minoritas.

Ketidakadilan suguh begitu nyata. Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf amin Menegaskan, ekonomi Indonesia yang selama ini lebih bayak mengunakan pendekatan top-down ataw dari atas kebawah, di waktu mendatang harus memperbesar pendekatan dari bawah ke atas(bottom up). ekonomi syariah merupakan salah satu alternative solusi atas ketidak adilan ini.

“Ke depan, ekonomi nasional harus ditopang oleh ekonomi umat. Bukan seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir konglomerat,” katanya.

Kiai ma’ruf amin, yang juga ketua umum majlis ulama indinesia (MUI)pusat, pada rabu 24 mei 2017, dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang ilmu ekonomi muamalat syariah,di universitas maulana malik malang. Pengukuhan ini merupakan penghargaan tertinggi di bidang akademik terkait dengan sinergitas ulama dan umara, dihadiri Presiden Joko Widodo ini, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, Mentri Agama Lukman Hakim, dan sejumlah pejabat lainnya.

Prof. Kiai Ma’ruf Amin ,mengungkapkan, apabila komitmen pemerintah tentang ekonomi syariah dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan Indonesia pasar dan pemain ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek cerah. Karena, selain Indonesia menjadi pasar potensial karna jmlah penduduk yang mayoritas muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi bagi para pelakunya.

Kiayi Ma’ruf menceritakan sejarah perkembangak bank syariah yang pertama didirikan pada tanhun 1991. Bank tersebut merupakan tidak lanjut dari hasil lokakarya MUI pada tahun sebelumnya. Satu tauhun setelah berdirinya bank syariah pertama tersebut lahir undang undang Nomor 07 tahun 1992 tentang perbankan , yang memuat tentang telah dimungkinkannya kegiantan usaha perbankan dengan menggunakan prinsif syari’ah yang disebut dengan istilah bagi hasil.

Ikhtiar untuk membuat regulasi perbankan terus dilakukan. Pada tahun yang sama pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 07 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsif  bagi hasil (lembaran Negara 1992/119, dan penjelasannya dalam lembaga Negara nomor 3505 ). Dalam PP. Nomor 72 tahun 1992 pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (ayat 1), yang dibentuk atas dasar konsultasi dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang dimaksud adalah MUI (penjelasan pasar 5 ayat 2).

Enam tahun setelahnya terbit UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang -undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang secara jelas didalamnya mengakomondasi dual banking system di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Hubungan baik yang terjadi antara lain Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional-Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menghasilkan banyak Peraturan  Bank Indonesia (PBI) yang mengadopsi dan mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Sehingga dapat dikatakana bahwa penyerapan fatwa ke dalam peraturan resmi Negara telah berlangsung dengan baikdi sektor perbankan.

Hal yang sama juga terjadi di sektor lain; seperti sektor asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. Pada tahun 2003 MUI merilis fatwa tentang keharaman bunga bank, karena dinilai sama dengan riba.

“Epek berantai setelah dikeluarkannya fatwa tersebut segera terasakan setelahnya. Hal ini bisa dilihat dari  ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah masalah ekonomi syariah , baik di bank Indonesia melalui direktorat pembiayaan syariah, Bapepam LK, biro asuransi syariah, Bursa Efek Indonesia (BEI), yang kesemuanya saat ini disatuatapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” katanya.

Fatwa tersebut juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin berkembangnya industri keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan melalui fakta statistik yang ada. Pada rentang tahun 1990 sampai dengan 1998 hanya ada satu bank syariah.

Pada rentang 1998 sampai dengan 2002 lahir lima bank syariah. Sedangkan setelah fatwa keharaman bunga bank dikeluarkan pada 2003, semakin banyak muncul bank syariah, baik yang berupa Unit Usaha Syariah, ataupun Bank Umum Syariah. Hal yang serupa juga terjadi disektor non-bank; banyak lahir asuransi syariah, multi-finance syariah, pasar modal syariah, dan lembaga bisnis syariah lainnya.

Hal itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Kondisi ini semakin menunjukan ada hubungan yang kuat sekali antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dinamika tumbuh kembang sektor ekonomi syariah di Indonesia.

 “Para ulama di DSN-MUI sangat bertanggung jawab dan percaya diri, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut yang mempergunakan Solusi Hukum Islam (makharijfiqhiyah) sebagai landasannya,” tegasnya.


Prof. Kiai Ma’ruf Amin Menjelaskan, setidaknya ada empat solusi fikih yang dijadikan landasan fatwa DSN-MUI; yaitu al-tasyir al-manhaji,tafriq al-halal ’An al-Haram, I’adah al-nadhar, dan tahqiq al-manath.

Al-tasyir al-manahij dapat diartikan memilih pendapat yang ringan namun tetap sesuai aturan. Meskipun mengambil pendapat yang lebih meringankan (at-taisir) namun tetap dalam karidor manahij yang ada.

“Artinya, fatwa DSN-MUI akan memberikam jalan keluar dengan memberikan solusi terbaik selama tidak  bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihab (al-mubalagah fi al-taysir). Hal ini tidak dibenarkan karena menimbulkan sipat meremehkan (al-tasahul)”, tandasnya.

Metode al-taysir al-manahij dimaksud agar menghindarkan fatwa disahkan tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab dengan fatwa meringankannamun hanya mempertimbangkan aspekkemaslahatannya saja dan tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologisnya (al-manahij).

“Dalam pandangan kami, hal itu tidak boleh dilakukan karena berpotensi terperosokpada mencari cari hal-hal yang ringan saja (tatabbu’a rukhash) yang dilarang dalam syariat islamiyah”, ujarnya.

Prinsip dasar penerapan kaidah al-taysir al-manahij dalam fatwa DSN-MUI adalah menggunakan pendapat yang lebih rajih dan lebih maslahat jika memungkinkan; jika tidak, maka yang digunakan adalah pendapat yang lebih mashlahat (saja).

Langkah oprasionalnya, mencari solusi fiqih yang secara dalil lebih kuat dan sekaligus lebih membawa kemaslahatan .

Namun apabila hal itu tidak bisa (atau sulit) dilakukan,  maka yang didahulukan adalah pertimbangan kemaslahatan,sedangkan kekuatan dalil (aqwa dalilan) dijadikan pertimbangan setelahnya.

“Karena itu , tidak menutup kemungkinan dalam fatwa DSM-MUI didasarkan pada pendapat ulama yang dulu dianggap sebagai pendapat yang lemah (qaulun marjuhun), namun karena stuasi dan kondisi saat inipendapat tersebut dianggap lebih membawa kemaslahatan.”

Contohnya, penerapan kaidah penetapan hukum ekonomi syariah yang selama ini dikenal ada dua pandangan. Yakni pandangan substanstif yang menjadiakan tujuan/ hasil akhir dan isi (al-maqqasid wa al-maani) sebagai urgen dalam menentukan hukum; dan pandangan legal-formal yang mengunakan kata/kalimat dan bentuk (al-alfazh wa al-mabani) sebagai urgen dalam menentukan hukum.yang pertama mengunakan kaidah “patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah tujuan dan maknanya adalah bukan kata-kata dan susunannya “. Dan yang kedua menggunakan kaidah ”patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah kata-kata dan susunannya, bukan tujuan dan maknanya.

Oleh DSN-MUI pandangan yang terlihat antagonis tersebut dua duanya diadopsi dan dipakai dalam menetapkan fatwa DSN-MUI, tergantung mana yang paling punya relevansi dengan aspek kemaslahatan.(Riadi Ngasiran, AULA Juli 2017)

 Moto:


Ditulis Ulang oleh Atep Maksum

Cianjur, 04 Oktober 2017 M.