Syariatisasi dan Bank
Syariah
Oleh: Abdurrahman Wahid
Judul di atas
keluar dari pengamatan penulis yang melihat proses “penyantrian” kaum muslimin
di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan
pengamatan sebelumnya, bahwa ratusan juta Muslimin dapat dianggap sebagai
orang-orang “Islam statistik” belaka alias kaum muslimin yang tidak mau atau
tidak dapat menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Orang-orang seperti itu,
dikalangan “kaum santri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orang-orang
abangan” (nominal muslim) di Indonesia. Mereka berjumlah sangat besar, jauh
lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada anggapan, bahwa kaum
santri yang melaksanakan secara tuntas ajaran-ajaran agama mereka berjumlah
sekitar 30 % dari penduduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini
tidak melaksanakan “kewajiban-kewajiban” agama dengan tuntas.
Karena “
menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap Islam baru tersebar dalam
lingkup Tauhid di negeri kita, maka para wakil berbagai organisasi Islam,
menerima pencabutan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus
Hadikusumo, Khahar Mudzakar, AR. Baswedan, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad
Subardjo, Agus Salim, A. Wahid Hasyim menerima pencabutan itu dengan mewakili
organisasi masing-masing. Tentu mereka bersikap seperti itu, karena secara de
facto telah berkonsultasi dengan kawan-kawan lain dari organisasi
masing-masing, atau paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di
kalangan gerakan Islam di Indonesia. Hanya dengan keyakinan seperti itulah,
mereka akan mengambil sikap seperti di kemukakan di atas.
Pengetahuan
sejarah tersebut sangat diperlukan, untuk megetahui jalan pikiran para wakil
berbagai perkumpulan Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk
mengetahu motif dari keputusan yang diambil tersebut.
Pada saat ini,
organisasi-organisasi Islam menguasai wacana politik dan budaya di negeri kita.
Sebagaimana terlihat dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan
pandangan dan pemikiran mengenai kedua bidang tersebut dalam media khalayak.
Walaupun yang dibicarakan adalah topik-topik yang sangat beragam, yang hanya
sebagian saja menyangkut aspek-aspek agama Islam, namun hampir duapertiga
paparan pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan mereka
yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari telah
turut bersama-sama menyatakan pendapat dan pandangan kaum santri di media
khalayak. Ternyata fakta ini tidak terbantahkan, sehingga banyak pegamat asing
tentang Indonesia, berpandangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui
pandangan kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut Indonesia.
*****
Salah sebuah
perkembangan yang menarik untuk diamati adalah pelaksanaan Syari’ah (jalan
hidup kaum muslimin), umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri
di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan dengan tekun,
paling tidak slogan “Syari’atisasi” telah dilakukan oleh mereka yang “sadar”
akan pentingnya Islam sebagai “pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan,
berbagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota,
telah membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk tidak
mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara formal atau resmi. Karena
itu, ketika penulis masih menjadi Presiden, telah mengusulkan agar tiap
Peraturan Daerah yang isinya bertentangan dengan undang-undang dasar dianggap
batal.
Karena itulah,
monitoring perkembangan upaya “Syari’atisasi” harus dimonitor terus, semestinya
perkembangan itu harus sejalan dengan keputusan sidang kabinet yang tertera di
atas. Nah, mengapa sampai sekarang belum ada pelaksanaan Syari’ah di beberapa
daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawabnya, karena Mahkamah
Agung yang seharusnya memberikan kata akhir bagi pembahasan hal-hal mendasar
bagi kehidupan kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahkamah
Agung yang benar-benar menjalankan kewajiban, tentulah tidak takut kepada
tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum teroris”. Karena ketakutan itu, Mahkamah
Agung kita akhirnya tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam memudahkan
berbagai masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita sekarang
takut kepada tekanan yang ingin memberlakukan syari’ah Islam, maka benarlah apa
yang dikatakan Franklin D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun
1945, bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri (We have to
fear is fear itself).
Umpamanya,
Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Sumatera Barat bahwa perempuan tidak boleh
bekerja sendirian setelah jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarga
dekat, jelaslah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan kedudukan,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara lelaki dan perempuan. Syariatisasi
macam inilah yang seharusnya dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak
oleh MA yang penakut itu. Kalau ada upaya membuat membuat Syariatisasi yang
sejalan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah penggunaan
nama Syari’ah itu sendiri. Tentu itu dilakukan dengan tujuan “mengiIlamkan”
perundang-undangan di negeri ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir, Al-Asmawi pernah mengemukakan dalam sebuah
buku, bahwa tiap undang-undang yang berisikan pencegahan dan hukuman (Defence
and Punishmemt) pada hakikatnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum
Islam?
Jelaslah dengan
demikian, upaya melakukan Syari’atisasi dengan menggunakan kerangka Al-Asmawi
itu, adalah apa yang oleh Fiqh (hukum Islam) dan cabang-cabangnya dinamai
“melakukan hal yang tidak perlu, karena sudah dilakukan” (Tahsil Al-Hasil).
Yang tercapai hanyalah penamaan saja, sedangkan substansi atau isinya tidak
diperhatikan, sehingga dilakukan secara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya,
proses Syari’atisasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa
penggunaan nama Syari’ah. Hal tersebut dapat terjadi sebagai proses dalam hidup
bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan, penyebutan Syari’ah dalam
produk-produk DPRD propinsi, kabupaten dan kota hanya bersifat politis saja,
sesuatu yang perlu disayangkan, karena terbawa oleh kerancuan kerangka berpikir
kita sendiri.
*****
Dalam hal ini
perlu kita menyayangkan, bahwa beberapa bank pemerintah telah mendirikan bank
Syari’ah, sesuatu hal yang masih dapat diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu
menyatakan tidak memungut bunga bank (interesty) tetapi menaikkan ongkos-ongkos
(bank cost) di atas kebiasaan? Bukankah dengan demikian, terjadi pembengkakan
ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip
cara kerja sebuah dengan bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya dengan
transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat
ditekan serendah mungkin.
Karenanya,
banyak bank-bank swasta dengan para pemilik saham non-Muslim, turut terkena “demam
Syari’atisasi” tersebut. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka
tentang hukum Islam tersebut. Begitu juga, sangat kurang diketahui bahwa Islam
dapat dilihat secara institusional/ kelembagaan di satu pihak, dan sebagai
kultur/ budaya di pihak lain. Kalau kita mementingkan budaya/ kultur, maka
lembaga yang mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti
partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank Syari’ah. Selama budaya Islam
masih hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup Islam
tetap terjaga. Karena itu, kita tidak perlu berlomba-lomba mengadakan
Syari’atisasi, bahkan itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak
pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Mudah dikatakan, namun sulit
dilaksanakan bukan?
Sumber:
Memorandum, Jakarta, 28 Januari 2003
Sumber:
http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/syariatisasi-dan-bank-syariah
POSTINGAN SEBELUMNYA ................... POSTINGAN SESUDAHNYA
POSTINGAN SEBELUMNYA ................... POSTINGAN SESUDAHNYA
Sabtu, 21 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar