KH.
Ma’ruf Amin menyampaikan pidato guru besar (honoris causa). Ekonomi Syariah
menjadi alternative solusi atas ketidakadilan di negri ini. Dengan pendekatan
dari bawah ke atas (bottom-up), bukan dari atas ke bawah (top-down)
Muslim di Indonesia, adalah mayoritas.namun, di bidang
ekonomi menjadi minoritas.
Ketidakadilan suguh begitu nyata. Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf amin Menegaskan, ekonomi Indonesia yang selama
ini lebih bayak mengunakan pendekatan top-down ataw dari atas kebawah, di waktu
mendatang harus memperbesar pendekatan dari bawah ke atas(bottom up). ekonomi
syariah merupakan salah satu alternative solusi atas ketidak adilan ini.
“Ke depan, ekonomi nasional harus ditopang oleh ekonomi
umat. Bukan seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir
konglomerat,” katanya.
Kiai ma’ruf amin, yang juga ketua umum majlis ulama
indinesia (MUI)pusat, pada rabu 24 mei 2017, dikukuhkan sebagai Guru Besar
bidang ilmu ekonomi muamalat syariah,di universitas maulana malik malang.
Pengukuhan ini merupakan penghargaan tertinggi di bidang akademik terkait
dengan sinergitas ulama dan umara, dihadiri Presiden Joko Widodo ini, Ketua Umum
PBNU KH. Said Aqil Siroj, Mentri Agama Lukman Hakim, dan sejumlah pejabat lainnya.
Prof. Kiai Ma’ruf Amin ,mengungkapkan, apabila komitmen
pemerintah tentang ekonomi syariah dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan
Indonesia pasar dan pemain ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek
cerah. Karena, selain Indonesia menjadi pasar potensial karna jmlah penduduk
yang mayoritas muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi
bagi para pelakunya.
Kiayi Ma’ruf menceritakan sejarah perkembangak bank syariah
yang pertama didirikan pada tanhun 1991. Bank tersebut merupakan tidak lanjut
dari hasil lokakarya MUI pada tahun sebelumnya. Satu tauhun setelah berdirinya
bank syariah pertama tersebut lahir undang undang Nomor 07 tahun 1992 tentang
perbankan , yang memuat tentang telah dimungkinkannya kegiantan usaha perbankan
dengan menggunakan prinsif syari’ah yang disebut dengan istilah bagi hasil.
Ikhtiar untuk membuat regulasi perbankan terus dilakukan.
Pada tahun yang sama pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 07 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsif bagi hasil (lembaran Negara 1992/119, dan
penjelasannya dalam lembaga Negara nomor 3505 ). Dalam PP. Nomor 72 tahun 1992
pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib
memiliki Dewan Pengawas Syariah (ayat 1), yang dibentuk atas dasar konsultasi
dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang dimaksud adalah MUI (penjelasan pasar 5
ayat 2).
Enam tahun setelahnya terbit UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas undang -undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang secara
jelas didalamnya mengakomondasi dual banking system di Indonesia, yaitu
perbankan konvensional dan perbankan syariah.
Hubungan baik yang terjadi antara lain Bank Indonesia dan
Dewan Syariah Nasional-Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menghasilkan
banyak Peraturan Bank Indonesia (PBI)
yang mengadopsi dan mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Sehingga dapat dikatakana
bahwa penyerapan fatwa ke dalam peraturan resmi Negara telah berlangsung dengan
baikdi sektor perbankan.
Hal yang sama juga terjadi di sektor lain; seperti sektor
asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. Pada tahun 2003 MUI merilis fatwa
tentang keharaman bunga bank, karena dinilai sama dengan riba.
“Epek berantai setelah dikeluarkannya fatwa tersebut segera
terasakan setelahnya. Hal ini bisa dilihat dari
ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah
masalah ekonomi syariah , baik di bank Indonesia melalui direktorat pembiayaan
syariah, Bapepam LK, biro asuransi syariah, Bursa Efek Indonesia (BEI), yang
kesemuanya saat ini disatuatapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK),”
katanya.
Fatwa tersebut juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin
berkembangnya industri keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan
melalui fakta statistik yang ada. Pada rentang tahun 1990 sampai dengan 1998
hanya ada satu bank syariah.
Pada rentang 1998 sampai dengan 2002 lahir lima bank
syariah. Sedangkan setelah fatwa keharaman bunga bank dikeluarkan pada 2003,
semakin banyak muncul bank syariah, baik yang berupa Unit Usaha Syariah,
ataupun Bank Umum Syariah. Hal yang serupa juga terjadi disektor non-bank;
banyak lahir asuransi syariah, multi-finance syariah, pasar modal
syariah, dan lembaga bisnis syariah lainnya.
Hal itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun
2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Kondisi ini semakin menunjukan ada hubungan yang kuat sekali
antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan terbentuknya peraturan
perundang-undangan dan dinamika tumbuh kembang sektor ekonomi syariah di
Indonesia.
“Para ulama di
DSN-MUI sangat bertanggung jawab dan percaya diri, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI
tersebut yang mempergunakan Solusi Hukum Islam (makharijfiqhiyah) sebagai
landasannya,” tegasnya.
Prof. Kiai Ma’ruf Amin Menjelaskan, setidaknya ada empat
solusi fikih yang dijadikan landasan fatwa DSN-MUI; yaitu al-tasyir
al-manhaji,tafriq al-halal ’An al-Haram, I’adah al-nadhar, dan tahqiq al-manath.
Al-tasyir al-manahij dapat diartikan memilih pendapat yang
ringan namun tetap sesuai aturan. Meskipun mengambil pendapat yang lebih
meringankan (at-taisir) namun tetap dalam karidor manahij yang ada.
“Artinya, fatwa DSN-MUI akan memberikam jalan keluar dengan
memberikan solusi terbaik selama tidak
bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut
tidak boleh dilakukan secara berlebihab (al-mubalagah fi al-taysir). Hal ini
tidak dibenarkan karena menimbulkan sipat meremehkan (al-tasahul)”, tandasnya.
Metode al-taysir al-manahij dimaksud agar menghindarkan
fatwa disahkan tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab
dengan fatwa meringankannamun hanya mempertimbangkan aspekkemaslahatannya saja dan
tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologisnya (al-manahij).
“Dalam pandangan kami, hal itu tidak boleh dilakukan karena
berpotensi terperosokpada mencari cari hal-hal yang ringan saja (tatabbu’a rukhash)
yang dilarang dalam syariat islamiyah”, ujarnya.
Prinsip dasar penerapan kaidah al-taysir al-manahij dalam
fatwa DSN-MUI adalah menggunakan pendapat yang lebih rajih dan lebih maslahat
jika memungkinkan; jika tidak, maka yang digunakan adalah pendapat yang lebih
mashlahat (saja).
Langkah oprasionalnya, mencari solusi fiqih yang secara
dalil lebih kuat dan sekaligus lebih membawa kemaslahatan .
Namun apabila hal itu tidak bisa (atau sulit)
dilakukan, maka yang didahulukan adalah
pertimbangan kemaslahatan,sedangkan kekuatan dalil (aqwa dalilan) dijadikan
pertimbangan setelahnya.
“Karena itu , tidak menutup kemungkinan dalam fatwa DSM-MUI didasarkan
pada pendapat ulama yang dulu dianggap sebagai pendapat yang lemah (qaulun
marjuhun), namun karena stuasi dan kondisi saat inipendapat tersebut dianggap
lebih membawa kemaslahatan.”
Contohnya, penerapan kaidah penetapan hukum ekonomi syariah
yang selama ini dikenal ada dua pandangan. Yakni pandangan substanstif yang
menjadiakan tujuan/ hasil akhir dan isi (al-maqqasid wa al-maani) sebagai urgen
dalam menentukan hukum; dan pandangan legal-formal yang mengunakan kata/kalimat
dan bentuk (al-alfazh wa al-mabani) sebagai urgen dalam menentukan hukum.yang
pertama mengunakan kaidah “patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah
tujuan dan maknanya adalah bukan kata-kata dan susunannya “. Dan yang kedua
menggunakan kaidah ”patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah kata-kata
dan susunannya, bukan tujuan dan maknanya.
Oleh DSN-MUI pandangan yang terlihat antagonis tersebut dua
duanya diadopsi dan dipakai dalam menetapkan fatwa DSN-MUI, tergantung mana
yang paling punya relevansi dengan aspek kemaslahatan.(Riadi Ngasiran, AULA Juli 2017)
Moto:
Ditulis Ulang oleh Atep Maksum
Cianjur, 04 Oktober 2017 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar