Gus Dur dan Ekonomi Islam
Edo Segara
Pengamat UKM & ekonomi syariah
Diperbarui: 26 Oktober 2017 04:03
1235 0 0
TANGGAL 30 Desember 2009, KH. Abdurrahman Wahid atau kyai yang
akrab disapa dengan Gus Dur ini tutup usia. Mantan Presiden RI ke- 4 dan Ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini meninggal karena sakit komplikasi diabetes,
ginjal, dan stroke. Kyai yang lahir di Denayar, Jombang, Jawa Timur pada 4
Agustus 1940 ini dikenal sebagai kyai yang berhaluan Islam Liberal. Padahal
jika melacak keterlibatannya terhadap pemikiran Islam, Gus Dur pernah mengikuti
jalan pikiran Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok gerakan Islam terbesar di
Mesir. Namun, ketika Gus Dur tertarik mendalami nasionalisme dan sosialisme
Arab di Mesir dan Irak, ketika masih menjadi mahasiswa di Al-Azhar Kairo dan
Universitas Baghdad Irak, pemikiran keislaman Gus Dur berubah 360 derajat.
Termasuk pemikiran Gus Dur tentang ekonomi Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat
saya kepada beliau, perlu kiranya saya ulas pandangan Gusdur tentang ekonomi
Islam yang ia tulis dalam bukunya, ”Islamku, Islam Kita, Islam anda; Agama
Masyarakat Negara Demokrasi.” Buku terbitan The Wahid Institute setebal 412
halaman ini, dalam bab keempat, Gus Dur mengulas pemikirannya tentang Islam dan
Ekonomi Kerakyatan, termasuk didalamnya pandangan Gus Dur tentang ekonomi Islam
yang sedang populer pada saat ini. Secara khusus Gus Dur membahasnya dalam dua
judul tulisan dalam sub bab tersebut. ’Syariatisasi dan Bank Syariah’ pada
halaman 191 dan ’Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi Islam’ pada halaman 196.
Berikut kutipan saya tentang tulisannya dengan judul ”Syariatisasi dan
Bank Syariah”: ”Hal lain yang sangat disayangkan, bahwa bank
pemerintah telah mendirikan bank syari’ah, sesuatu hal yang masih dapat
diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu menyatakan tidak memungut bunga bank
(interest) tetapi menaikkan ongkos-ongkos (bank cost) diatas kebiasaan?
Bukankah dengan demikian, terjadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor,
sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip cara kerja sebuah bank yang
sehat. Lalu, bagaimanakah halnya dengan transparansi yang dituntut dari cara
kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.”
Karenanya, banyak bank-bank swasta dengan para pemilik saham non-muslim, turut
terkena ”demam syari’atisasi” tersebut. Hal itu disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan mereka tentang hukum Islam tersebut. Begitu juga, sangat kurang
diketahui bahwa Islam dapat dilihat secara institusional (kelembagaan) disatu
pihak, dan sebagai budaya dipihak lain. Kalau kita mementingkan budaya, maka
lembaga yang mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti
partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank syariah. Selama budaya Islam masih
hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup Islam tetap
terjaga. Karena itu, kita tidak perlu berlomba-lomba mengadakan syari’atisasi, bahkan
itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak pemerintah dan lembaga-lembaga
negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?
Dua paragraf diatas adalah sepotong tulisan Gus Dur menanggapi bank syariah.
Saya ingin menanggapi secara sederhana saja tulisan Gus Dur karena latar
belakang saya berkecimpung dalam praktisi bank syariah. Gus Dur mempersoalkan
mengapa cost di bank syariah lebih mahal? Diskusi ini pun marak dimilist
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Sebenarnya, apa penyebab dari itu? Bank
secara umum (konvensional ataupun syariah) biasanya menetapkan besarnya lending
rate berdasarkan perkiraan beberapa komponen biaya antara lain: biaya dana
(atau bagi hasil) untuk pemilik dana (penabung), biaya operasional untuk
kantor, tenaga kerja, dan peralatan, cadangan risiko tidak kembalinya
pembiayaan. Nah, komponen tersebut yang menetukan pricing (expected price
rated) suatu bank (tidak hanya bank syariah).
Mengapa cost dibank syariah menjadi mahal tidak bisa kita justifikasi begitu
saja. Banyak faktor, diantaranya: Pertama, bank konvensional menetapkan
administrasi yang tinggi dalam simpanan sedangkan bank syariah tidak melakukan
itu. Sehingga, biaya-biaya tenaga kerja, operasional kantor, tenaga kerja dan
peralatan bisa ditutup dari biaya tersebut. Bahkan ada indikasi bank-bank umum
besar konvensional tidak mau melempar dana ke masyarakat karena mereka sudah
cukup mendapatkan keuntungan dari biaya administrasi. Ini juga problem dibank
konvensional, sehingga fungsi bank sebagai penyalur dana bagi debitur tidak
berfungsi. Kedua, biasanya bank syariah yang cost-nya mahal karena bank
tersebut baru, maka biaya dana umumnya relatif mahal, begitu pula dengan biaya
operasional karena volume bisnis masih rendah, dan risiko yang dihadapi juga
relatif besar.
Mengenai pendapat Gus Dur tentang kelembagaan (institusional) yang tidak perlu
dibangun sah-sah saja. Namun kultur tanpa kelembagaan tentunya akan sulit,
terlebih dalam membangun lembaga keuangan syariah. Dalam Simposium Sistem
Ekonomi Islam ke-4 yang berlangsung pada tanggal 8-9 Oktober 2009 lalu,
bertemakan memperkuat kelembagaan ekonomi Islam karena para akademisi dan
pelaku ekonomi syariah merasa kelembagaan ekonomi syariah belum begitu kuat.
Jadi, keduanya saya kira harus dibangun baik kultur (budaya) ataupun
kelembagaan dalam pengembangan ekonomi syariah. Penguatan lembaga, bukan
berarti upaya ’syari’atisasi’ seperti yang diungkap Gus Dur, tapi dalam upaya
pelaksanaa Good Corporate Governance (GCG) dalam lembaga keuangan syariah.
Masih menurut Gus Dur bahwa teori ekonomi Islam gagal untuk dikembangkan baik
dalam teori maupun praktek karena kebijakan-kebijakan yang ada hanya upaya
pelestarian kekuasaan secara politis. Pengembangan teori ekonomi Islam akan
hancur jika ia dikait-kaitkan dengan kekuasaan. Gagasan ekonomi Islam
menurutnya tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam dari kebijakan,
langkah-langkah dan keputusan pemerintah dimasa lampau. Bagaimana akan dibuat
acuan mengenai sebuah sistem ekonomi Islam, kalau fakta-fakta ekonomi dan
finansial semenjak kita merdeka tidak pernah ditinjau ulang. Perkembangan
gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan kemandulan, karena cenderung untuk
mempermasalahkan aspek-aspek normatif, seperti bunga bank dan asuransi
ketimbang mencari cara-cara (aplikasi) yang dilakukan nilai tersebut.
Dalam hal ini saya sepakat dengan Gus Dur, bahwa para pemikir dan praktisi
ekonomi Islam sibuk mempermasalahkan aspek-aspek normatif ketimbang mencari
inovasi dalam pengembangan ekonomi syariah itu sendiri. Mengenai kebijakan
ekonomi syariah sebagai pelanggeng kekuasaan ini juga benar adanya. Lihat saja
sewaktu Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia dan SBY sebagai
Presiden periode 2004-2009, Undang-Undang Perbankan Syariah serta
peraturan-peraturan Bank Indonesia yang mendukung ekonomi syariah atau lebih
tepatnya perbankan syariah hanya alat pelanggeng kekuasaan semata. Terlebih
hanya untuk merebut simpati masyarakat muslim khususnya. Saya kira
kritik-kritik Gus Dur yang sebagian besar kurang produktif namun disisi lain
kita juga harus melihat kejelihan Gus Dur dengan masukan beliau yang luar biasa
terkait ekonomi syariah.Wallahua’lam
Sumber:
https://www.kompasiana.com/edosegara/gusdur-dan-ekonomi-islam_5500f49f813311f51bfa7da1
Postingan sebelumnya .............................
Postingan Sesudahnya
BACK TO MY HOME