الكَواكبُ الّمَاعَة
فِى تَحقِيق الْمُسَمّى
بأهْل السُّنّة وَالجَماعة
تأليف
الأُستَاذ أبى الفَضَل
بْنِ الشَّيخْ عَبْدِ الشّكُور السِّنَورى بَاعِيْلانِ
ترجيم
: برهان الرشيدي
طُبعَ عَلى نفقَةِ
مكتبَة ومطبَعة
فُسْقمترَين المسرع شيأنجور
(bagian pertama)
بســـــم الله
الرحــمن الرحــيم
الحمد لله جعلنا من
أهل السمع والطاعة و وفّقنا لاتباع السنة و ملازمة الجماعة وأشهد أن لاإله إلاالله
وحده شهادة هى أفضل زاد و خير بضاعة و أشهد أن سيدنا محمدا عبده و رسوله الذى أوجب
الله علينا اتباعه و الصلاة والسلام على سيدنا محمد المخصوص بأعظم شفاعة صلاة
وسلاما يعمان اَله وأصحابه وأشياعه وأتباعه. أمّا بعد..
Maka kemudian berkata Alfaqir Ila Rahmati Robbihi Ahmad
Abu Fadll bin Abd asy-Syakur yang bermuqim di Sinur (sebuah desa di Tuban,
Jawa Timur), semoga Allah menyelamatkannya dari setiap bala bencana yang kelam.
Sungguh kaum muslimin dewasa ini telah berpecah belah, berkelompok-kelompok dan
bergolongan-golongan. Dan setiap firqoh (dari mereka) itu masing-masing mengaku
bahwa firqoh dialah yang berada pada Assunah, Firqoh lainnya yang bid'ah…
وَ
كُلُّ حِزْبٍ بِمَالَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
Dan setiap golongan oleh apa yang ada diri mereka merasa
gembira
وكُلُّ
فِرْقَةٍ بِرَأْيِهِمْ مُتَبَجِّحُوْنَ
Dan setiap firqoh pada masing-masng pendapatnya merasa berbangga
hati
Dan orang-orang lain kepada mereka itu menaruh hati dan pada
simpati, sampai situasi dimana haqiqat Ahlussunah simpang siur bagi kebanyakan
orang. Di antara mereka banyak saling bertanya-tanya tentang haqiqat Ahlussunah
itu, bertanya-tanya tentang siapa yang berhaq mendapat predikat dengan nama itu.
Kemudian rasa iba
saya terhadap nasib umat Islam timbul mendorong saya untuk menjelaskan masalah
yang penting ini, mengeluarkannya dari situasi yang pelik ini. Maka saya susun
Risalah ini. Saya namainya dengan nama Al-Kawakibul Lammaa'ah fi Tahqiqil
Musamma bi Ahlissunnati Wal Jama'ah (Bintang Terang benderang
tentang haqiqat apa yang dinamakan AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH) .
Pada Allah-lah saya permohonkan taufiq, inayah, hidayah dan baiknya penjelasan.
Dan inilah saatnya tandang tumandang dalam maksud utama tulisan ini dengan
mengharap pertolongan Allah Yang Maha merajai serta Dzat yang berhak disembah.
PENDAHULUAN
Ketahuilah bahwasanya sesungguhnya kaum muslimin dijaman Rasulullah
shollallohu 'alaihi wasallam (w.
Senin, 02 Robi'ul Awwal 11 H /08 Juni 632 M) adalah sebuah umat yang satu.
Sehingga mereka belum pernah mengalami perbedaan baik dalam aqidah
maupun dalam pengamalan, perbedaan yang mengantarkan pada perpecahan,
tergolong-golong dan terkotak-kotak sebagaimana Allah sanjung di beberapa ayat pada
kitab sucinya yang mulia.
Kemudian di kala Rasullullah wafat, jadilah Sayyidina Abu Bakar
rodliallohu 'anhu (w. Selasa, 08 Jumadil Akhir 13 H) sebagai kholifah
(pemimpin pengganti) bagi Beliau SAW. Selanjutnya setelah Beliau dengan
penunjukan langsung (istikhlaf) dari beliau tampillah Sayidina Umar
bin Khotthob (w. Jum'at, 29 Dzilhijjah 23 H) rodliallohu 'anhu
menjadi Kholifah. Pada saat ini belum muncul dikalangan mereka perbedaan
kecuali sedikit dari fihak yang tidak diperhitungkan perbedaannya. Kemudian
setelah Kekhalifahan sampai pada Sayidina Utsman (w. Jum'at, 29 Dzul
Hijjah 35 H) rodliallohu 'anhu perbedaan mulai tampak jelas,
sejelas-jelasnya. Dan begitu kekhalifahan
Sampai ke tangan Sayyidina Ali Karromallohu wajhah (w. 21
Ramadlan 40 H) perbedaan muncul memuncak, jelas sekali.
Nah disaat itu masyarakat berpecah belah, berbeda-beda pandangan
dan keinginan. Maka muncullah suatu kelompok yang memberontak pada pemerintahan
Sayyidina Ali rodliallohu 'anhu. Mereka mengibarkan bendera perlawanan
dan memukul genderang peperangan terhadapnya. Itulah mereka yang kemudian
dinamakan Kaum Khowarij. Dan nama inilah terus berlaku bagi orang yang
menempuh perjalanan dan berpandangan sama dengan kelompok tersebut. Sementara
itu muncul kelompok lain yang berlebihan dalam mencintai Beliau dan begitu kuat
fanitismenya. Dan mereka melampaui batas dalam sikapnya itu. Itulah meraka yang
kemudian dinamakan Kaum Syi'ah. Dan namanya terus disematkan pada orang
bermadzhab kelompok ini sampai masa sekarang. Dan akhirnya kedua kelompok
itupun terbagi-bagi lagi kedalam beberapa golongan yang lain.
Dan Masing-masing dari firqoh-firqoh itu menyerukan kepada
orang-orang untuk mengikuti pandangan dan madzhabnya. Kemudian tak
henti-hentinya setiap firqoh baru muncul, firqoh demi firoh sampai akhirnya
masyarakat terpecah menjadi banyak firqoh. Serta Masing-masing dari
firqoh-firqoh itu menyangka berada pada ajaran yang hak dan benar. Kemudian
sampai di penghujung masa berakhirnya masa Tabi'in tampak muncul fiqoh lain
yang menamakan dirinya Ahlul Adli Wat Tauhid. Dan mereka adalah Kaum
Mu'tajilah.
Karena keadaan masa seperti itulah baru muncul yang namanya Ahlussunnah
Waljama'ah bagi mereka yang senantiasa berpegang teguh pada Sunnah Nabi
Besar SAW dan Jalan Para Sahabat dalam keyakinan keberagamaan, amal peribadahan
lahiriyah dan akhlak bathiniyah. Maka ada sebagian orang di antara mereka yang
menekuni pada penegakan hujjah-hujjah dan dalil-dalil masalah aqidah baik dalil
aqli maupun naqli, dinamakanlah dengan nama Mutakallimin atau
Ulama Ahli Kalam. Ada sebagian yang menekuni pada ilmu-ilmu peribadahan,
mu'amalah, munakahat, berfatwa tentang hukum-hukum, peradilan, dan lain-lain,
maka dinamakanlah dengan nama Fuqoha atau Ulama Ahli Fiqih. Dan
ada sebagian lagi yang menekuni pada menghimpun hadits-hadits Nabi,
mengidentifikasi hadits shoheh dari yang lainnya dan sebangsanya, maka
dinamakanlah dengan nama Muhadditsin atau Ulama Ahli Hadits. Dan ada sebagian lagi yang menekuni pada
memperbanyak amal-amal lahir dan membersihkan hati dan jiwa dari akhlak-akhlak
yang jelek, kemudian menghiasinya dengan akhlak-akhlak mulia, maka
dinamakanlah dengan nama Shufiyyah atau Ahli Tashowuf.
Berkata Ibnu Khuldun dalam kitab Muqodimah-nya,
"Sesungguhnya di dalam hukum fiqh yang digali dari dalil-dalil syar'I itu
banyak sekali perbedaan (khilafiayah) di antara para ulama mujtahid
sesuai dengan ketajaman hati dan fikirannya masing-masing, dengan perbedaan
yang memang tidak bisa dihindari terjadinya. Perbedaan di dalam agama ini
menjadi luas seluas-luasnya. Pada waktu itu bagi para muqollid mendapat
keleluasaan untuk taqlid kepada orang yang dikehendakinya. Sampai pada saat
dimana urusannya sampai pada para imam-imam yang empat – yang mana mereka
berada pada citra tertinggi (dalam urusan ini) – maka masyarakat membatasi taqlidnya
hanya pada imam-imam tersebut. Maka ditegakkanlah Madzhab Empat ini sebagai
tonggak pokok dalam agama.
Oleh Burhan Rosyidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar