الكَواكبُ الّمَاعَة
فِى تَحقِيق الْمُسَمّى
بأهْل السُّنّة وَالجَماعة
تأليف
الأُستَاذ أبى الفَضَل بْنِ الشَّيخْ عَبْدِ الشّكُور السِّنَورى بَاعِيْلانِ
ترجيم : برهان الرشيدي
طُبعَ عَلى نفقَةِ
مكتبَة ومطبَعة فُسْقمترَين المسرع شيأنجور
بســـــم الله الرحــمن الرحــيم
الحمد لله جعلنا من أهل السمع والطاعة و وفّقنا لاتباع السنة و ملازمة الجماعة وأشهد أن لاإله إلاالله وحده شهادة هى أفضل زاد و خير بضاعة و أشهد أن سيدنا محمدا عبده و رسوله الذى أوجب الله علينا اتباعه و الصلاة والسلام على سيدنا محمد المخصوص بأعظم شفاعة صلاة وسلاما يعمان اَله وأصحابه وأشياعه وأتباعه. أمّا بعد..
(Bagian tiga)
FASAL II
Tentang Penjelasan Penggunaan Jenis Kata
Jika anda telah
mengetahui hal demikian itu maka ketahuilah Bahwa suatu suku kata itu ada yang hakekat
dan ada pula yang majaz. Lalu masing-masing dari keduanya itu ada yang Lughowi,
ada yang Syar'I, dan ada juga yang Urfi (bersifat
tradisi, Adat Masyarakat) . Tradisi itu sendiri terdapat dua macam, ada yang
khusus dan ada yang umum. Hakekat adalah
suku kata yang digunakan dalam makna peruntukannya sejak pertamakalinya.
Sementara Majaz adalah suku kata yang digunakan dalam makna peruntukannya pada
kedua kalinya karena alasan yang mengharuskannya. Lughowi ialah suku kata yang
dipakai oleh Ahli Lughot (Bahasa) karena
sudah jadi ishtilah (sepakat) atau karena bimbingan langsung (dari Allah SWT).
Contohnya seperti kata Asad (singa) diperuntukan untuk arti
"binatang yang menerkam". Syar'I ialah suku kata yang dipakai oleh
nara sumber (pembuat) syara', seperti kata sholat diperuntukan untuk arti
praktek ibadah tertentu. Sedangkan 'Urfi adalah suku kata yang mula-mula
dipakai oleh Tokoh Masyarakat Umum. Contohnya seperti kata dzaabbah
diperuntukan untuk arti "binatang berkaki empat", seperti keledai.
Secara lughot, dzaabbah adalah nama untuk segala sesuatu yang kumarayap
di atas permukaan bumi. Atau (hal demikian itu) oleh Tokoh Masyarakat tertentu.
Contohnya seperti kata "Fa'il" diperuntukan untuk suatu fungsi kata yang dikenal di kalangan Ulama
Nahwu. Urfi 'Am adalah lafadh yang tidak
tentu pengutipnya. Sementara 'Urf Khosh adalah lafadh yang tentu pengutipnya.
Terkadang banyak pula lafadh yang digunakan oleh para pemangku agama untuk arti
tertentu dinamakan syar'I.
FASAL III
Tentang Proses Pemaknaan suatu lafadz
Jika telah
dipahami hal tersebut di atas itu maka ketahuilah bahwa suatu lafadz itu wajib
dimaknai terhadap kebakuan si pembicara. Maka Lafadz yang datang dalam
pembicaraanya nara sumber agama harus dimaknai dengan makna syar'I, walaupun
itu memiliki makna 'urfi atau lughowi, atau memiliki
makna keduanya karena sesungguhnya makna syar'I merupakan 'urf-nya syara. Lalu
bila itu tidak memiliki makna syar'I atau memiliki makna syar'I tapi ada
sesuatu yang dapat membelokan makna dari makna syar'I tersebut maka pemaknaanya
adalah makna urfi 'am. Kemudian jika tidak terdapat makna 'urfi 'am atau
terdapat makna 'urfi 'am tapi ada sesuatu yang membelokan dari
makna tersebut maka pemaknaanya adalah makna lughowi karena pada keadaan
demikian menjadi satu-satunya. Demikian pula dengan lafadz yang datang dalam
pembicaraannya para pemangku 'urf khos, maka sama dimaknai dengan makna yang
telah pada mereka kenal. Maka bila ada seorang ahli nahwu yang berkata,
umpamanya, "Fungsi fa'il harus di-rofa'-kan sedangkan maf'ulnya harus
di-nashab-kan" maka wajib pemaknaan rofa', nashab, fa'il,
dan maf'ul dengan makna-makna yang telah dikenal dalam cabang ilmu nahwu, tidak
yang lainnya.
FASAL IV
Tentang Arti Kata Sunnah dan Kata Jama'ah
Jika sudah tahu
begitu maka ketahuilah bahwa lafadz sunnah diungkapkan untuk beberapa
makna dari segi bahasanya. Berkata Imam Muhammad Syaerozi (729-817 H)
dalam kitabnya Qamus Muhith wa Qobus Wasith, "Sunnah dengan
mendlommahkan (huruf sin) bermakna macam-macam, yaitu :
1.
Wajah,
bagian wajah sebelah atasnya, daerah sekitar wajah, bentuk, dahi, atau dahi
serta kedua alisnya.
2.
Perjalanan
(sejarah)
3.
Tabi'at
4.
Salah
satu jenis kurma di Madinah
5.
Dan
kalau dari Allah, maknanya bisa : hukumnya, perintahnya, dan larangannya."
Berkata Sayyid
Murtadlo Zabidi dalam syarah kitab Ihya " Dan Sunnah adalah
"jalan yang ditempuh"." Kemudian dalam segi syara, kata
sunnah diungkapkan untuk beberapa makna juga, diantaranya :
1.
perjalanan dan jalan yang ditempuh Nabi Besar
SAW.
2.
Suatu
pekerjaan yang diberi pahala orang yang mengerjakannya, dan tidak akan disiksa
orang yang meninggalkannya.
Dan juga
ketahuilah bahwa lafadz jama'ah diungkapkan secara bahasa untuk makna
setiap sesuatu perkumpulan tiga dan atau lebih. Suka dikatakan jama'atun
Naas (perkumpulan orang-orang), jama'atut
thoer (perkumpulan burung), jama'atud
dhiba' (perkumpulan rusa), dan lain sebagainya. Dan suka diungkapkan secara
syara untuk beberapa makna, diantaranya :
1.
ikatan
seseorang untuk sholatnya pada sholatnya orang lain dengan memakai
syarat-syarat tertentu.
2. Kumpulan kaum muslimin melalui seorang pemimpin yang dilantik oleh Ahlulhal
wal 'Aqdi (semacam dewan perwakilan
masyarakat, terdiri dari unsur Ulama dan Tokoh Masyarakat) dengan syarat-syarat
yang diakui, seperti lafadz jama'ah dalam suatu hadits :
مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَتُهُ مِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ . رواه
مسلم
Artinya : "Barangsiapa yang berpisah dengan jama'ahnya
sejengkal saja lalu dia itu mati maka
kematiannya
adalah kematian bangsa jahiliyyah." Hadits Riwayat Imam Muslim.
FASAL V
Tentang kesimpulan dari Fasal-Fasal Yang Lalu
Jika sudah tahu
begitu maka ketahuilah bahwa lafadz sunnah wal jama'ah adalah lafadz
'urfi yang dibuat oleh keempat kelompok tadi, yakni :
1.
Muhadditsin
2.
Shufiyyah
3.
'Asya'iroh
4.
Maturidiyyah
sebagai
penamaan diri karena aqidah yang mereka yakini, yaitu bahwa mereka menganut
Sunnah, yaitu perjalanan Rosulillah Shollallohu 'alaihi wasallama dan
perjalanan para sahabatnya, para tabi'in, dan tabi'ittabi'in. Dan nama ini
tetap lestari sampai hari ini. Hal ini berlaku juga bagi dia yang menganut
madzhab keempat kelompok tersebut. Dan jadilah nama Ahlussunnah wal jama'ah
menurut vonis 'urf merupakan nama (proper
noun) bagi keempat kelompok tadi. Artinya, jika nama itu diungkapkan maka
maksudnya tidak mengarah kecuali pada keempat kelompok tadi, sebagaimana yang telah
dahulu dikutip dari pen-syarhil Ihya' (Sayyid Murtadlo Zabidi) yaitu
ucapannya : " Di mana-mana dilontarkan kata Ahlussunnah wal jama'ah…(dan
seterusnya)" . Dan beliau berkata pula dalam permulaan Syarhil Risalah
Qudsiyyah dari kitab Ihya, " Sedangkan yang dimaksud dengan
Ahlussunnah ialah yaitu Golongan Yang Empat itu : Muhadditsin, Shufiyyah,
'Asya'iroh, dan Maturidiyyah " karenanya jika sudah tahu begitu
maka dapat diketahui bahwa tidak boleh kita mengungkapkan kata Ahlussunnah wal
jama'ah untuk selain Keempat Golongan Tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar