(Bagian ke lima / Tamat)
MASALAH IV
Jika ditanyakan :
"Apa yang anda katakan tentang mereka yang menyingkirkan Madzhab Empat di
masa kini kemudian mereka duga bahwasanya mereka pun para mujtahid mutlak dalam
masalah agama dan juga menduga sesungguhnya mereka berpegang teguh tiada lain
hanyalah pada Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi ?"
Saya jawab :
Sesungguhnya mereka itu suatu kaum yang penuh kebingungan tentang urusan
agamanya. (Anda lihat) begitu kacau-balaunya pendapat-pendapatnya. Jalannya
terombang-ambing tak menetap pada satu pijakan…
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ
شَتَّى
" Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hatinya
berbeda-beda"
Mereka
mengaku-ngaku ijtihad sementara mereka bukan dari jajaran ahli ijtihad.
Mereka mengingkari taqlid sementara mereka terbelenggu dengan belenggu taqlid. Mereka
tidak mau bertaqlid kepada Imam-imam mujtahid terdahulu tetapi mereka bertaqlid
kepada pemuka-pemukanya yang tersesat. Mereka mengharamkan taqlid sedang mereka
sendiri para pentaqlid. Mereka mewajibkan ijtihad sedangkan mereka sendiri
tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad. Adalah sebuah kaum yang dipermainkan
hawa-nafsunya sendiri, tercerai-berei
oleh 'aqidah-'aqidahnya, dan dikuasai oleh keinginan-keinginannya
sendiri dan diliputi oleh kegelapan syubhah-syubhah
(pernyataan-pernyataan yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya).
Sampai-sampai mereka berkeyakinan bahwa terikat kepada salah-satu Madzhab Empat
itu merupakan penghalang antara mereka dan keinginan hasratnya dan sebagai
tirai penghalang untuk mencapai hawa nafsunya sendiri. Nah tatkala mereka
mempunyai pemikiran seperti itu maka ditinggalkanlah Madzhab-madzhab itu secara
total sebagai sikapnya untuk meraih cita-citanya yang rendah itu. Lalu mereka
berpegang kepada sesuatu yang tak ada kemampuan dan kekuatan untuk melakukannya,
yaitu ijtihad tadi. Mereka di ujung yang satu sementara dunia ijtihad di ujung
yang satunya lagi. Memang betul ! Mereka itu para mujtahid dalam hal ikatan
tali taqlif , supaya dapat mecapai apa yang mereka inginkan. Bukankah
mereka suka mengatakan, "Kami ini adalah orang-orang yang merdeka akal dan
pikirannya. Kami akan dapat mencapai puncak kesempurnaan ilmu dan kekuatan
berpikir." Betul !
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merdeka akalnya, tapi dalam hal mengikuti
syahwat dan memenuhi kebutuhan, yang memang yang dapat mengantarkannya pada
penghalalan sebagian perbuatan haram, meninggalkan sebagian kewajiban dan
pengharaman sebagaian perbuatan sunat. Dengan demikian mereka terlepas bebas
dalam kubangan syahwat seperti halnya binatang-binatang, yang terlepas bebas
dalam semak-semak belukar. Kalau mereka itu tidak cukup laik dinamai Ibahiyyin
(faham menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan) maka yang paling
pantas mereka itu kalau dinamai Hasyawiyyin.
Berkata Imam Taqiyyudin
Subki (685-756 H) :
"Adapun
Kaum Hasyawiyyah itu adalah golongan sempalan yang membangsakan dirinya kepada
Imam Ahmad (164-241 H) Rodliallahu 'anhu . Padahal Imam Ahmad sendiri
terbebaskan dari mereka. Yang menjadi
sebab penisbatan mereka pada beliau adalah bahwa Beliau Rodliallahu 'anhu
senantiasa tegak (membela faham ahlussunnah wal jama'ah) di dalam menolak faham
mu'tajilah dan tetap tegar dalam kesengsaraan dan kepedihan (yang dialaminya).
Dari Beliau dikutip beberapa pernyataan yang oleh orang-orang bodoh itu (Kaum
Hasyawiyyah) tidak dapat dipahaminya. Lalu mereka meyakinkan I'tiqod yang buruk
ini kemudian jadilah yang terakhir dari mereka itu megikuti pendahulunya,
kecuali orang-orang yang terpelihara oleh Allah SWT. Mereka tak henti-hentinya
sejak kemunculannya itu sebagai kaum rendahan yang tidak memiliki seorang
pemimpin, dan tidak pula orang yang pandai ber-munadhoroh (berargumen
untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya). Di setiap waktu hanyalah koaran-koaran
suara tak berarti yang dimilikinya. Mereka hanyalah menggantung hidupnya pada
sebagian penguasa-penguasa pinggiran. Tetapi Allah senantiasa mengekang
keburukannya itu. Dan tidak semata-mata mereka ketergantungan pada seseorang
kecuali mendatangkan kejelekan baginya. Mereka berbuat kerusakan terhadap
tatanan itiqodnya jema'ah-jema'ah arus kecil dari Golongan Syafi’iyyah dan yang
lainnya, terutama sebagian muhadditsin (mungkin maksud beliau para
pelajar hadits) yang kurang kecerdasannya atau yang dikuasai oleh orang telah menyesatkannya.
Lalu jema'ah-jema'ah ini ikut-ikutan meyakinkan bahwa Mereka itu berqaol-ria
berdasarkan hadits.
Dan
sesungguhnya konon seorang tokoh muhadditsin yang paling utama di
zamannya di Damaskus, yaitu Imam Ibnu
Asakir (499-576 H), tidak mau mengajarinya mereka hadits dan tidak
membolehkan mereka hadir di majlis-tahditsnya. Hal itu terjadi pada masa
kesultanan Nuruddin Syahid (Sulthan Mahmud bin Zakka, wafat pada bulan
Syawal tahun 569 H. Beliau merupakan
pendahulu dari sulthan Shalah ad-Din Yusuf al-Ayyubi (w. Shofar 589 H).
Dan nyatalah mereka itu merupakan orang-orang rendahan serendah-rendahnya.
Kemudian di penghujung abad ke-7 muncul …..
رجل له فضل
ذكاء (يعنى ابن تيمية) ولم يجد شيخا يهديه
seseorang yang memiliki keunggulan berpikir (yakni Ibnu
Taemiyyah, 661-728 H) tapi tidak mendapatkan guru yang mengarahkannya. Dia
penganut madzhab Kaum Hasyawiyyah, sekaligus sebagai orang pemberani nan intens
untuk meyudisfikasi madzhabnya. Dan dia mendapatkan temuan-temuan yang keluar jauh sekali (dari
rel kebenaran). Lalu dengan beraninya dia mewajibkan sendiri menggunakan
temuan-temuannya itu. Lalu demikian dia mulai menyampaikan pendapat (yang
aneh-aneh), diantaranya :
1.
Tegaknya
sifat-sifat makhluk pada Dzat Tuhan Subhanahu wa ta'ala
2.
Bahwa
sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala tidak henti-hentinya yang mengerjakan (fa'il)
3.
Tasalsul (keadaan berantai pada makhluk sehingga tidak ada berujung dan
berkesudahan) bukan suatu hal yang mustahil pada kejadian yang lampau, seperti
halnya pada kejadian yang akan datang juga.
Dengan demikian
Dia telah memutuskan tongkat (perjuangan agama; Jama'ah Islam), telah merecoki sendi-sendi aqidah kaum
muslimin, dan menanam bibit (permusuhan) di antara mereka. Sikapnya itu tidak
hanya terbatas pada urusan aqidah dalam ilmu kalam tapi juga melebar jauh dari
itu (sampai pada urusan furu', diantaranya seperti ) Dia mengatakan :
1. bahwasarnya
perjalanan jiarah ke Nabi Besar sollallohu 'alaihi wasallam merupakan
pekerjaan maksiat.
2.
Bahwasanya
melakukan talaq tiga itu tidak jatuh talaq.
3. Bahwasanya
orang yang bersumpah akan mentalaq istrinya dan kemudian terkena (tebusan)
sumpahnya maka tidak jatuh talaq.
Para ulama
sefakat untuk memenjarakannya dengan masa penjara yang lama. Untuk itu, Sang
Sulthan, Raja Muhammad ibnu Qowalun (w. 741 H)
memenjarakannya dan melarangnya untuk membuat karya tulis selama
dipenjara dan juga membawa tinta masuk penjara (peristiwa itu terjadi tahun 722
H). Kemudian tak lama setelah itu muncul orang yang menyebar-luaskan
faham-fahamnya serta mengajarkan masalah-masalah furu' (pendapatnya)
dengan menanamkan ke orang-orang secara diam-diam dan menyembunyikannya secara
terang-terangan, maka dengan demikian menjadi merebak luaslah hal-hal yang
membahayakan (agama). Sampai didapati oleh saya di zaman ini sebuah rangkaian qoshidah
yang bait-baitnya mencapai sekitar 6000 bait. Padanya diceritakan faham-faham
ibnu Taemiyyah dan faham-faham orang lainnya. Qoshidah tersebut
adalah qoshidahnya Ibnu Zafil, seorang laki-laki dari kalangan
Madzhab Hanbali. Dia membantah, di dalamnya, faham Imam 'Asy'ari dan yang
lainnya dari jajaran Imam-imam sunnah dan menjadikannya Kaum Zahmiyyah
suatu kali dan orang-orang kafir pada kala yang lain. Ibnu Zafil menyangka
dengan kebodohannya bahwa faham Ibnu Taemiyyah itu adalah fahamnya Ahli Hadits.
Lalu saya
dapatkan Qoshidah ini adalah merupakan karangan tentang ilmu kalam yang
para ulama melarang mendalaminya, kalau saja itu merupakan sesuatu yang haq,
dan tentang penetapan faham-faham bathil yang dengannya dapat mengugguli orang
dan ada lagi unsur tambahan lainnya dari kedua unsur tadi, yaitu dapat
menjerumuskan masyarakat awam pada sikap mengkafirkan orang selain dirinya dan
selain golongannya. Maka dengan demikian ini adalah tiga materi yang ketiganya
itu merupakan himpunan dari isi yang terkandung dalam Qoshidah ini.
Yang pertama dari tiga materi itu adalah haram hukumnya, karena larangan dari ilmu kalam kalau bentuknya saja sudah larangan tanzih
tentang masalah yang kebutuhan menuntut kita membantah ahli bid'ah di dalamnya
maka tentu larangan itu menjadi larangan tahrim tentang masalah yang
kebutuhan tidak menuntut kita pada hal tersebut. Maka bagaimana tidak kalaulah tentang
masalah yang merupakan hal yang bathil ?!
Yang kedua, para ulama berbeda pendapat di dalam mengkafirkannya dan isi
qosihidah itu memang belum sampai pada tingkat ini. Adapan kalau dilakukan
dengan sangat berlebihan maka di dalam
status ikhtilaf-nya ini
harus dipertimbangkan lagi.
Adapun Yang
ketiga maka kita tahu dengan pasti bahwa ketiga golongan itu – Syafi’iyyah,
Malikiyyah, dan hanafiyyah – serta orang-orang bersetuju dengan
mereka itu adalah orang-orang muslim dan bukan orang-orang kafir. Dengan
demikian maka pendapat yang menyatakan bahwa semuanya kafir dan menjerumuskan
masyarakat kedalam pendapat itu adalah bagaimana tidak menjadi kufur ?!
Sementara rosullloh sollallohu 'alaihi wasallam pernah bersabda :
"
إِذَا قَالَ الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَـدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
" jika berkata seorang muslim kepada
saudaranya " wahai kafir !",
maka berarti salah seorangnya berbalik menjadi kafir."
Kenyataannya
mengharuskan bahwa sebagian yang dia kafirkan itu adalah muslim. Sementara
hadits menetapkan bahwa halnya ada salah seorang yang kembali menjadi kafir.
Berarti Yang mengucapkanlah dia yang telah kembali menjadi kafir."
Demikianlah sudah apa yang Imam Taqiy Subki katakan dengan panjang lebar, yang
konon telah dikutip darinya oleh pensyarah kitab Ihya, Sayyid Murtadlo Zabidi.
Dan Tak
henti-hentinya Madzhab Ibnu Taemiyyah dianut dan diakui masyarakat dan mereka
menambahkannya perkara lain. Dan tak henti-hentinya pula seiring dengan
meliwatnya masa dan bergantinya tahun terus bertambah dan bertambah banyak pengikut
dan semakin meluas sehingga muncullah di pertengahan abad ke-12 dari wilayah
Najd, Hijaz seorang lelaki yang suka dipanggil Abdul Wahab (1111-1207
H), yang kepadanyalah dinisbatkan Golongan Wahabiyyah. Konon dia
penganut madzhab Ibnu Taemiyyah. Dan dia telah menambahkannya beberapa
pemikiran bathil, yang kesemuanya ada 10, seperti halnya yang dituturkan oleh
Jamil Afandi Sidqi Zahawi dalam risalahnya, Fajar Shodiq, :
1.
Menetapkan
wajah, tangan, dan arah bagi Dzat Allah Sang Pencipta Subhanahu wa ta'ala
dan menjadikannya jisim; benda yang suka bergerak turun dan naik.
2. Mendahulukan
dalil naql dari pada akal serta tidak adanya rujukan terhadap akal di dalam
urusan-urusan keagamaan, yakni keyakinan-aqidah.
3.
Menafikan
ijma para ulama dan mengingkarinya.
4.
Menafikan
dalil qiyas.
5. Tidak
bolehnya taqlid kepada para mujtahid dari Imam-imam agama serta mengkafirkan
orang yang menaqlidinya.
6. Mengkafirkan
mereka yang dia anggap beda haluan dengan mereka dari kalangan kaum muslimin.
7. Melarang
bertawasul kepada Allah SWT baik dengan Kangjeng Rosul sollallohu
'alaihi wasallam ataupun dengan yang lainnya dari para nabi, auliya, dan
orang-orang soleh lainnya.
8. Mengharamkan
ziarah quburnya para nabi dan orang-orang soleh.
9. Mengkafirkan
orang yang bersumpah dengan nama selain Allah dan menghitungkannya sebagai
orang musyrik.
10. Mengkafirkan orang yang bernadzar karena selain Allah atau orang
yang menyembelih hewan di maqom para nabi.
Dan Muhammad
ini mendapat bantuan untuk mengibarkan akidahnya yang menyimpang itu dari Muhammad
ibnu Su'ud, pemimpin negri Dzuro'iyyah (negrinya Musaelimah al-Kadzdzab
dulu). Selanjutnya pada dialah para raja Su'udiyyah berikutnya dinisbatkan.
Kemudian tak henti-hentinya muncul segelintir kelompok orang yang membantu
perkembangan Madzhabnya itu dan menyerukan kepada masyarakat untuk mengikuti
madzhabnya ini dan selalu saja memberikan penambahan-penambahan pemikiran baru
yang mana memang menyalahi Madzhabnya Ahlussunnah wal jama'ah sehingga berhamburanlah
kejelekan yang ditimbulkan madzhab ini ke kepulauan Nusantara, Indonesia sampai
akhirnya terus tersebar di Negri ini.
Dan tak
henti-hentinya para pengikut madzhab ini menentang para Ulama al-Kirom dan
selalu berusaha menarik simpati rakyat jelata dengan kata-kata yang mempesona
serta menanamkan kecintaan terhadap orang-orang bodoh. Sementara kaum tradisional
dan para ulama dikecam dan dilecehkan oleh mereka itu dengan penuh kebencian
dan cacimaki. Mereka tak henti-hentinya melakukan hal itu di pedesaan dan
kota-kota sehingga terjadi maraknya bahaya dan keruksakan (aqidah dan tatanan
keagamaan)…
" وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَالَهُ مِنْ هَادٍ
"
Dan barangsiapa yang akan disesatkan oleh Allah maka tiada baginya yang akan memberi petunjuk."
Dan
cukuplah kiranya pembahasan ini, Allahlah Sang Pengatur Taufiq dan hidayah.
Risalah ini selesai, dengan pertolongan Dzat Yang Maha Penyendiri
Keagungannya, pada hari Senin Yang diberkahi tanggal 11 Jumadil Tsaniyyah
tahun 1381 dari Hijrah Nabi 'ala shohibiha afdlolus Sholaati wassalaam. Semoga
Allah SWT memberi pengampunan kepada penyusun, kepada ibu-bapaknya serta ke
seluruh kaum muslimin. Amiin !
Cianjur, 30 September 2017